Selasa, 24 Desember 2013

Mengantarmu pulang

Bukankah jalan sudah habis? Lalu bagaimana lagi aku harus mengantarmu pulang.
Sedang cerita-cerita mu dan ku belum juga habis berkeliaran si telinga ku dan mu.

Dan rindu yang masih ada.

Selasa, 17 Desember 2013

Rindu dan pulang

Bagaimana dengan kepalamu? Masih kau sembunyikan kah rindu?

Lalu kapan aku bisa pulang?

Jumat, 06 Desember 2013

Tuan Desember

Seharusnya kami tak pergi dan diam-diam berpuisi.
Tapi mau bagainananana
lagi.

Ia tak bertanduk; jadi ia tak perlu berandai-andai seperti apa tidak bertandu. Tapi perlu juga ia berpikir apa yang terjadi andaikan di pertigaan terakhir motor vespa biru itu tak sempat menyerempetnya.

Ah Tuhan. Otaknya terlalu lelah. Bukankah Engkau sudah menciptakan bulan ini untuknya? Dan tulang rusuknya? Dan tulang rusuknya?

Ia tak perlu menulis puisi yang indah. Puisinya menulis sendiri ceritsnys untuknya. Dan saat kepalanya berada diantara jemari bukankah pada saat yang sama bola matanya berkelahi pelan di antara kuku-kukunya?

Dan k/walau nantinya ia tutup puisi ini dengsn kata-kata yang teramat buruk, bukan karena ia benci bulan ini. Tapi karena ia adalah bulan ini.

Lima

Rabu, 13 November 2013

Sesekali

Sesekali masih sempat ia untuk duduk sendiri dan membuang senyum.
Dan karena memang hidupnya selalu baik-baik saja, ia merasa perlu untuk tidak peduli dan membakar segila.

Ia biarkan asap berterbangan di udara dan ingatannya mengembara sembunyi-bunyi di bawah awan.
Ia tak terkutuk. Tapi tak ada alasan untuk sesekali tak mengutuk, kan?

Jumat, 08 November 2013

Sedangkan

Sedangkan kamu menjelma kata diawal puisi ini, aku hilang menjadi jalan berbatu
yang kau lewati terkantuk-kantuk saat kamu berkelana sebentar.

Dan jalan tak juga habis sementara matahari pwrlahan-lahan mengambil gelap.

Sejak semula sudah kuambil tangismu, air matamu dan senyummu. Ia menjelma menjadi sedu-sedan di hari rabu. Lalu nanti kita akan bertemu. Mungkin di hari sabtu. Atau mungkin minggu

Sabtu, 02 November 2013

Lampu dan waktu

Pada malam serupa ini biasanya saya suduk di halaman sambil memperhatikan lampu jalan.
Mungkin ia sedang diam saja, mungkin ia akan pelan-pelan berubah redup. Atau saja jika mungkin dan diijinkan ia akan berpikir tentang kapan ia akan padam tanpa pernah tepat mengerti apa itu waktu

Saya benar-benar minta maaf untuk puisi kali ini

Ia tak lagi menulis puisi. Otaknya sudah dipenuhi kabel-kabel dan aliran listrik.
Sedang udara diam-diam menjadi penghantar yang baik.
Sedang paru-paru, jantung dan hati menjelma menjad kristal yang baik

Jumat, 18 Oktober 2013

Cara menulis puisi yang baik

Mungkin cara terbaik menulis puisi adalah sekedar menulis.
Tak ada yang mengetahui kenapa kata-kata keluar berurutan, hanya sekedar harus keluar.

Mungkin juga ingatanmu adalah bumbu yang paling baik. Mungkin juga andaikan kamu tak beringatan, puisi-puisimu akan menjadi lebih baik.
Mana ku tahu, aku tak pernah tak beringatan

Satu akar puisi

Kapan terakhir kali kamu menulis bung? Ah, mungkin kamu sudah lupa.
Tapi sekali-kali tidak akan menyakitimu jika mengingat bahwa huruf dan kata takkan hadir kecuali seseorang mengucapkannya.
Sedang puisi, sebaik-baik dan seburuk-buruknya tetap membutuhkan pikiran seseorang untuk sekedar hadir

Kamis, 10 Oktober 2013

Setelah pulang

Setelah pulang, hanya ada foto dan lukisanmu terdiam di dinding kamar.
Sedang udara yang sempat kamu hembus di ruangan ini pelan-pelan sudah keluar lewat celah jendela dan pintu.

Minggu, 06 Oktober 2013

Ada yang berbeda

Ada yang berbeda dari dirinya yang sekarang dengan dirinya beberapa masa yang lalu.
Namun ia masih saja duduk sendiri di beranda sambil berharap dunia tak kemana-mana.

Ia tetap saja menulis dalam buta, entah siapa yang akan membacanya.
Ia juga masih memikirkan tentang segala dan menunda tidur beberapa sampai akhirnya ia dihajar kantuk.

Ada yang berbeda namun ia tetap saja memandang semu. Ia tak ingat apapun, ia ingat dirinya. Itu saja.

Ia ingat mimpi-mimpinya dan betapa sadar bahwa ia yang sekarang tak pernah sedikitpun ada dalam pikirannya dulu.

Dan kata-kata yang mengalir dari jemarinya, sejauh apapun berbeda ia tetap jujur dalam bercerita.

Minggu, 22 September 2013

Karena aku harus pulang

karena aku harus pulang makanya kamu bisa hidangkan rindu diatas meja
sedang rinduku akan ku hias baik baik (ia tak pernah kemana-mana)

ia akan sembunyi pelan-pelan jika nanti kita sudah bertemu.
(Mungkin)

Sepele

Untuk apa pulang jika kita tak pernah merasa di rumah?
Lalu untuk apa pergi jika kita tak pernah ingin kembali?
Petanyaan terakhir adalah tentang ada dimana kah kita saat mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan sepele ini?

Senin, 16 September 2013

Selamat datang di kepalanya

Selamat datang di kepalamu, bukankah kamu asing disini?
Beberapa hal serupa pikiranmu masih saja suka berlari liar, jadi kamu tak tahu harus apa. Aku mengerti.

Kamu bisa saja menuang teh dan menggigit biskuit. Tapi kamu tak tahu harus kau apakan lagi ragu.
Lalu kau mulai mengaduk sagu tapi sebenarnya kamu yakin betul bahwa jam 7 malam adalah waktu paling tepat untuk pulang ke rumah.

Lalu apalagi yang bisa dilakukan jika memang kendara sudah tiada. Kamu berjanji, benar kamu berjanji. Omong kosong sebenarnya jika kamu masih membiarkannya menunggu.

Tepat saat meihatmu bencinya musnah dan membuatnya yakin benci padamu tak pernah ada. Andai kamu sempat dengar doa-doanya yang selalu diselipkannya setiap malam.

Dalam hatinya tentu saja ia tak pernah tahu apa lagi isi kepalanya. Tapi ia ingin kepalanya mengganti hatimu hingga tak ada yang perlu dipikirkannya selain menghidupimu dengan pikirannya.

Karena bukankah rindunya padamu adalah rindu yang indah?
Tak perlu ada yang dibuat-buat, sayang kamu harus pulang semalam.
Tak sempatkamu saksikan hujan yang diciptakannya semalam. Tapi ia sempat bersyukur kamu menikmati pelangi yang tergelincir dari bola matanya.

Dan dari setiap bibirnya keluar kata-kata serupa mantra. Dan dari kupingnya keluar cahaya beraroma badai. Jadi ia mau tak mau berandai-andai pula kenapa kamu enggan duduk sekedar sebentar bersamanya disini.

Yakin benar ia tak bisa menjajikanmu selendang sutra. Pikirnya cintanya sudah menyelubungimu penuh dan tak perlu lagi hadir diantara mereka.

Bukankah cintanya sudah membakar sedemikan rupa?

Lalu seperti puisi yang baik maka puisi ini harus berhenti. Namun apabila sempat mungkin akan indah jika ia dan terutama kamu mengerti makna dibalik kata-kata ini.

Sabtu, 14 September 2013

Tertidur di beranda

Saat besok ia terbangun di beranda, yang pertama dipikirkannya adalah tentang betapa dinginnya beranda di pagi hari. Lalu berikutnya yang melintas di pikiran adalah tentang kenapa ia tertidur di beranda.

Kemudian pertanyaaan cepat berganti twntang mengapa ia seorang diri di beranda. Lalu mengapa ia masih menjepit ringan filter tembakaunya. Lalu pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah habis.

Setelah pertanyaannya tak juga habis, ia putuskan untuk terus tidur di beranda.

Puisi ini tak berjudul

Karena dia ada dimana saja saat berada di beranda itulah yang membuatnya tak habis berpikir tentang kenapa kamu masih saja merindukannya dan dia merindukanmu.

Sedang apabila rindu salah satu dari kalian telah menggebu, bukankah kehadiran kalian saling terwakili udara yang terbang melayang diantara kalian.

Lalu jika memang harus ada yang pergi bukankah kata-kata dan spasi di sela-sela puisi ini telah cukup mengganti?

Kamis, 12 September 2013

Aku menulis sekedar hanya ingin menulis

Kami harus pulang dan bersandar di dinding kamarku.
Pikirku lelah sudah hinggap di mata sedang jalan raya terasa tak berujung.

Seringkali rindu menyeruak hadir. Mau bagaimana lagi, ia masih manusia kan?

Selasa, 10 September 2013

Puisi tengah malam

Telah tuntas kau dihajar malam. Jadi kamu hanya duduk di trotoar jalan sambil menyeka pelan darah yang mengalir di bibirmu.

Siapa yang bilang puisi tak bisa menjadi cerita?

Diseberang kamu lihat bangkai tikus. Kamu ingat rumahmu dan kenangan yang tak pernah kau tinggal. Aku ingat saat kamu duduk di meja makan sembaro bercerita tentang suatu ketika. Lalu kamu teruskan bermain dengan sembrono dan kau biarkan aku tersenyum menyaksikan.

Sudah waktunya pulang kurasa tapi kamu enggan beranjak dari trotoar. Kamu berharap azan subuh menempelengmu pelan namun kau tak sadar di sekitarmu tak ada musola.

Tak pernah ada musola.

Semalaman kamu biarkan malam menghajarmu hingga habis. Dan kini saat kamu mengaduh kamu mengingat sudah beberapa tahun sejak terakhir kamu berdoa.

Mungkin Tuhan akan mengabulkan. Mungkin Tuhan sekedar mendengar dan takkan mengabulkan. Mungkin Tuhan seperti pacar paling pencemburu.

Lalu ia berpikir apabila dari doanya ia akan diberikan yang terbaik, apa gunanya ia berdoa?
Jika ia tak diberi apa-apa, apa gunanya ia berdoa?
Jika Tuhan diam saja, apa gunanya ia berdoa?

Dan sekali lagi aku tanya, siapa yang berkata bahwa puisi tak mampu bercerita?

Ia ingat jutaan bangkai tikus yang terkapar si pinggir jalan selama ini dalam hidupnya. Ia berpikir apakah pernah ada duka melintas di kepala orang? Atau jijik saat membayangkan seekor tikus mati?

Lalu nanti (dan ia benar-benar berharap nanti) ia mati, apakah akan ada duka melintas di kepala orang? Ataukah hanya ada orang yang merasa jijik membayangkanmu mati?

(Dan apa sebenarnya perbedaan ia dengan bangkai tikus di pinggir jalan?)

Masih adakah yang sangsi puisi tak mampu memberikanmu cerita?

Minggu, 08 September 2013

Puisi maaf

Maaf karena saya sempat menulis. Saya hanya rindu dengan bisikkan kata-kata yang pelan-pelan saya tulis.
Maafkan pula dengan keraguan, lalu karena dikatakan ia mudah menular maka mungkin anda telah ragu sebelum melihat titik di akhir kalimat ini.

Tapi saya takkan meminta maaf untuk berpuisi.

Rabu, 14 Agustus 2013

Ralat untuk puisi Hio

Kalau ia beruntung maka ia masih akan mendapati bahwa hionya belum terbakar habis saat ia pergi keluar dan memanjatkan doa.
Namun jika ia tak seberuntung itu, bukankah ia masih dapat tetap berharap doanya tak perlu dibawa hio untuk dikabulkan?

Aku menulis diatas beranda sebuah hotel di Surabaya

Masa tepat diantara ia merasa normal membaca permainan rangkaian dan tidak sudah tak dapat ia terka lagi dengan benar.
Kini ia bisa membaca sedikit dibalik mengapa hambatan harus mencegah aliran sebaik-baiknya.

Ia tetap bisa menikmati keindahan kata sesungguhnya. Jadi ia tak mampu untuk memprotes apa-apa.

Ia masih bisa duduk di beranda sediri saja dan tidak perlu khawatir ada orang lain yang diam-diam memperhatikannya menangis.
Ia tetap mampu untuk bernyanyi sunyi diatas sepeda motor dan menarik gas dalam-dalam.

Ia selalu saja datang dan pergi sendiri. Dan ia benar- benar meyakini bahwa ia tetap sama dengan dirinya sendiri.

Tapi jelas saja ada yang berbeda. Dan jika kamu menanyakannya kenapa ia takkan pernah mampu menjelaskannya dengan baik kepadamu

Senin, 12 Agustus 2013

Hio

Doamu bukanlah hio yang terbakar lalu hilang menjelma udara.
Udaramu adalah doamu, sedang ia sedikit demi sedikit terkikis oleh hio.

Dan doamu yang pada akhirnya dengan lembut membangunkanmu. Membawa aroma hio ke sekitar dan akhirnya memaksa setiap makhluk mengamini doamu.

Minggu, 11 Agustus 2013

Kopi dan teh

Belum lagi dingin kopi yang kamu sajikan diatas meja namun aku sudah berandai-andai pula sejak kapan aku lebih menyukai kopi daripada teh.

Mungkin sejak kemarin, mungkin sedari dulu, atau mungkin baru saja sesaat setelah kamu seduh.

Tapi saat akhirnya kamu memintaku pulang, aku hanya sempat berkata pelan:

"Setidaknya biar aku habiskan satu cangkir ini dulu."

Sabtu, 10 Agustus 2013

Perangko

Tak pernah aku tempel perangko di sudut kanan atas puisi-puisiku.
(Tapi sebenarnya aku benar-benar berharap kamu akan diam-diam selalu membaca puisi-puisiku)

Kotamu tak pernah melupakanmu

Kotamu tak pernah melupakanmu. Kamu yang selalu melupakannya.
Setiap langkah yang kamu buang di kota lain, ia berias secantik-cantiknya agar kamu enggan tak kembali.
Lalu udara yang kamu buang di dataran lain, ia jelmakan menjadi oksigen baru yang kamu hisap hanya saat berada disini.
Lalu nanti saat kamu pulang kamu hanya tersenyum sendiri sambil berpikir:
"Bukankah tak pernah ada yang mencintai kota ini seperti aku mencintainya?"

Di kota malam hari

Tuan, bukankah Anda semestinya sudah terebah diatas hotel? Kenapa pula anda masi enggan melepaskan tangan dari stang sepeda motor?

Ah, rupanya engkau rindu

Senin, 05 Agustus 2013

Doa pelaut untuk anaknya

Selamat malam laut.
Telah kukecup pelan kening anakku dan kukuyupkan ia dengan doa-doa yang baik.
"Semoga kamu tumbuh jadi karang sehingga nanti kamu tak perlu lagi takut dengan laut."

Senyummu malam itu

Malam itu biasa saja sebenarnya:
Bulan bersinar remang-remang, awan terkadang menghalangi cahaya sedang hewan-hewan malam berkeliaran sesukanya.

Namun yang sampai kini membuatku heran ialah tentang aku yang tak pernah bisa mengingat senyummu malam itu

Sabtu, 03 Agustus 2013

Azan milik Ibu

Azan isya mengajakmu pulang. Setengah merwngut kau balas lambaian tangan mesra ibumu yang menjemput dari pos Ronda.

"Tapi bu, hari ini aku masih ingin terus bermain hari
ini.
" Ujarnya mengiba.

"Kamu masih bisa terus bermain,
Nak.
Tapi esok. Isya hari ini takkan terulang lagi hari ini."

Kamu tatap wajah ibumu lekat-lekat. Kamu kemudian berkata pelan.
"Lalu apa bedanya, Bu? Bukankah aku yang bermain esok bukan aku yang sebensr aku hari ini?

Ibumu tersenyum kemudian memelukmu pelan.
"Aku cinta kamu lebih aku mencintai bola matamu,
Nak. Tapi terkadang apa yang kita bawa hari ini tidaklah sama dengan yang kita bawa esok hari. Tapi,
bukankah kita ituadalah kita yang sekarang?
"

Kamu tersenyum dan mebalas pelukan ibumu kemudian berujar,
"Ah Ibu, betapa aku mencintaimu."

Puisi dan penulisnya

Puisi tak serupa surat. Tak perlu ada yang menunggu diseberang. Para penulis yang terbaik hanya benar-benar berharap puisinya dibawa angin alih-alih tas pengap Pak Pos.

Para penulis yang baik tidak menualahkan pena atau jemari atas kata-kata yang tertuang di atas kertas. Kalau memang harus ada yang dikesalkan mungkin hanya betapa ia tak mampu menulis puisi sebaik ini untuk esok hari

Jumat, 02 Agustus 2013

Pencuri

Hanya ada tiga ekor jangkrik di halaman saat seorang perampok datang ke rumahku.
Diam-diam ia datang lalu celingak celinguk kesana kemari mencari inspirasi.

Aku mau tak mau terbangun juga saat kemudian berkata lantang:
"Wahai tuan, telah datang pencuri kata-katamu malam ini. Maka
mana puisimu?"

Kuusap-usap wajahku perlahan lalu berjalan ke beranda. Kulihat bayangannya berdiri seakan dipancang cahaya bulan.
"Pencuri yang budiman, tak ada lagi-lagi kata yang layak kau curi.
Bagaimana jika kamu pulang sambil membawa televisi atau isi lemari?"

Ia kemudian berjalan ke arahku.
"Tuan, inspirasi yang baik bisa membeli jutaan rumah sepertimu.
Sedang kata yang baik, dapat membius jutaan orang sepertiku."

Pencuri itu menamparku lalu lari cepat-cepat. Sayang tak sempat dinikmatinya cahaya bulan yang petlahan mengjilang dibawah bayangan pepohonan.

Selasa, 30 Juli 2013

Seharusnya

Seharusnya kita tak pernah perlu pulang karena yang benar-benar kita perlukan hanyalah untuk sekedar bersama.

Kamu bisa meneruskan menghabiskan kari ayam yang baru kamu makan separuh,
sedang aku bisa meneruskan menambal sulam mimpi di depan jendela.

Kita bisa melupakan koperku yang tergeletak di sudut pintu, lalu melanjutkan cerita yang walau sedari lalu sudah habis namun terasa tak habis-habis

Jumat, 26 Juli 2013

Pergi

Kalau kamu meluangkan waktu sekedar duduk maka mungkin kamu akan sempat sekedar berandai-andai mengapa
koper ada di bawah meja sedang kopi semakin dingin.

Kita bisa saja menyalahkan cuaca dan tertawa saat mendung tiba. Tapi sungguh
aku tak ingin pergi kemana-mana sesungguhnya.

Senin, 15 Juli 2013

Rumah

Selamat datang,
kamu tak perlu mencopot sepatu atau memasang maskara.
Bukankah kamu telah tiba di rumah?

Bagaimana kabar? Bukankah aku tak pernah lwlah dengan cerita?

Lalu nanti setelah kau sudah puas dan lelah bercerita kita akan selalu bisa duduk bertiga di beranda dengan senja.

Kemudian saatnya kamu atau kita pergi, kita akan tinggalkan rumah.
Bukankah rumah itu bisa ada dimana saja asalkan kita ada berdua saja?

Minggu, 14 Juli 2013

Yth Puisi

Halo kata, lama tak bersua.
Maaf, aku sedang sibuk dengan gambar-gambar tak berkata.
Sedang kamu enggan datang dan mengetuk pintu rumah lagi.

Telah sampai suratmu kemarin, maaf aku tak sempat merajutmu lagi.
Maksudku, sungguh. Aku sungguh minta maaf atas inspirasi yang mengalir keluar dari jemari.

Mungkin beberapa masa (detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dasawarsa) kita akan bertemu lagi.
Sampai saat itu maafkan atas segala permintaan maaf yang akan bertubi-tubi tiba

Kamis, 11 Juli 2013

Maaf aku tak bisa lagi menulis

Maaf aku tak bisa lagi menulis, kata-kataku hilang dicuri timah dan timbal.
Dan pikiranku habis disita arus dan rangkaian.

Sabtu, 29 Juni 2013

Mungkin

Mungkin aku hembus udara yang akan kamu hirup.
Betapa semuanya menjadi semakin mungkin saat kita sebenarnya ada di kota yang sama.

Lalu kita bisa bertemu akhirnya di kotamu. Bukan dengan kota berpucuk api atau sarang burung-burung besi.

Tapi sayang mungkin sudah tak ada lagi aku didalam semuamu

Selasa, 25 Juni 2013

Selamat (malam)

Sayang, bukankah kita hidup di saat ini?
Maafkan atas pertanyaan diatas. Aku hanya heran tentang betapa aku sangat merindukan masa lalu.

Sayang, bukankah kamu tetap bersama orang yang bernama sama.
Jadi aku berandai-andai, kenapa pula aku duduk disini saat azan berkumandang bersamaan ditelinga kita.

Dan kota-kota serta cahaya sedikit mulai merayakan kita yang tak bersama lagi.
Dan aku sayang, dan kamu aku harap kita sama-sama berharap.

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi di antara kita. Mungkin kita memang selalu begini pikirku. Tapi tetap saja aku berandai-andai.

Dan andaikan bisa aku akan bertanya padamu, namun aku terlalu mencintaimu untuk bertanya padamu.

Lalu nanti saat kita pulang sendiri-sendiri aku hanya berpikir alangkah senangnya jika kita bisa menghabiskan beberapa ribu langkah berdua.

Sabtu, 22 Juni 2013

Sungguh puisi ini tidak untuk merayu

Andai saja telingamu adalah telingaku, maka alih-alih berteriak aku cukup membisikkan namamu rendah-rendah.
Dan apa bila tak ada lagi hatimu dan hatiku, mungkin satu hati akan cukup bagi kita berdua

Rabu, 19 Juni 2013

Maaf untuk puisi saya kali ini

Maaf untuk beberapa kata dalam pikiran. Mungkin tak sempat kukatakan tapi apa bedanya jika aku benar-benar meyakini.

Maaf untuk beberapa harap yang kuungkapkan. Dan mungkin belum sampai jemariku bibir untuk menggumam.

Maaf pula untuk bait demi bait puisi yang terus buruk. Aemoga aroma bahagia tercium samar-samar dari sini

Rabu, 12 Juni 2013

Kalau saja angin

Kalau saja angin serupa ia. Ia sudah tak berada disini dan melayang ribuan kilo diatas daratan.
Dan dia akan terhirup pepohonan, sekawanan bajing dan beberapa kaktus yang bersembunyi dipadang pasir.

Kalau saja angin serupa puisinya. Sudah dibawa ke telinga orang-orang dan beberapa manusia. Lalu beberapa mendengarkan, beberapa terbang diantaranya, beberapa tidak peduli. Dan nanti ia akan kembali ke tempat semula. Duduk diam sembari mendengarkan angin-angin di sekitarnya.

Kalau saja angin serupa mimpinya. Maka mimpinya akan jadi mimpi yang baik. Mimpi yang baik

Selasa, 11 Juni 2013

Untuk sebuah puisi

Aku ingat atas sebuah puisi pendek, sayang tak bisa kutemukan lagi dimana-mana
tak juga di pikiran dan gelombang kata-kata yang tersibak.

Lalu esok hari aku akan pulang dan kucari kemana-mana, namun tak dapat kutemukan pula. Aku harus pulang dimana-mana, aku harus membaca tapi tak pernah yakin membaca dimana. Lalu aku tak yakin untuk harus membacanya lagi atau tidak.

Dan andaikan saat ini kutulis sebuah puisi yang sama persis sekalipun aku tak benar-benar yakin apakah ini memang puisi yang sama atau tidak.

Selasa, 21 Mei 2013

Kamu ingin apa sekarang

Kalau ditanya sekarang:
apakah kamu ingin emas tak terhingga?
Tidak.

Mungkin wanita tercantik di dunia?
Tidak.

Atau kamu lebih suka hidup selamanya?
Tidak.

Lalu kamu ingin apa?
Tidur.

Menulis biasa-biasa

Sebenarnya saya ingin menulis biasa-biasa saja.
Tapi sejak kapan tulisan saya menjadi serumit ini pun saya tak pernah tahu.

Mungkin kata-kata ibarat buluh. Semakin dipakai semakin runcing.

Tapi untuk apa memiliki sajak dengan kata-kata yang runcing? 

Di perjalanan

Kemarin tiba kacamu di jendela,
dan beberapa air yang menetes dari balik jalan.

Mungkin kita akan tiba,
ujarku.
Kamu menggeleng.

Kita tak perlu tiba dimana. Kita ada dimana-mana.
Ujarmu.

Aku mencoba mengabaikanmu dan membiarkan udara menerbangkan aroma canggung dan sendu.
Bukankah kita berdua saling mengait rindu?

Kita akan tiba. Sungguh, kita akan tiba.
Tekanku.

Kamu lagi-lagi menggeleng.
Untuk apa tiba jika kita memang tak pernah kemana-mana?
Tanyamu.

Singkat.

Aku ingin pulang. Dan kamu tak ingin kemana-mana.

Mungkin yang selama ini salah adalah pertanyaan. Bukan titik atau koma

Jumat, 17 Mei 2013

Astronot

Selamat pagi walau kami tak pernah tahu apa bedanya lagi.
Maaf atas perbedaan zona waktu, seluruh dunia bagai kelereng bagi kami. Dan kami bergerak, sungguh. Kami bergerak dan menyaksikan dunia bergerak.

Lalu kami tersadar,
"Ah betapa kecilnya."
Tak ada lagi perbedaan antar kamu, aku, kita, mereka. Kita semua muat dalam lingkaran telunjuk dan ibu jari kami.

Dan saat kalian tertawa, menangis, atau jutaan orang meninggal disana-sini. Sungguh, tak ada bedanya bagi kami. Sama sekali tidak ada.

Yang tersisa hanya kerinduan tentang daratan. Lalu kopi. Ya, kopi akan sangat membantu

Kamu Takkan pernah bisa menangis di luar angkasa

Sayang hanya air matamu yang tertahan turun. Aku tak sempat merasakan sedih atau sekedar apapun.
Aku hanya menatap matamu yang merah dan nafasmu yang tercekat.

Ah sayang, kamu takkan pernah bisa menangis di luar angkasa

Nil (ii)

Mungkin kamu dan aku serta beberapa orang yang sedikit saja ada disekitar kita menghirup udara yang sama.
Mungkin juga tidak. Pasir yang kita hirup tak sengaja mungkin juga sudah terbang ribuan kilometer jauh berharap dapat kembali pulang.
Sayangnya tidak. Sementara air yang mengalir tak henti-henti dari sungai didepan mata kita muncul dari air ribuan kilometer jauhnya dari suatu tempat.
Atau memang tidak.

Tapi bisa jadi. (Ya, bisa saja terjadi),
seluruh udara, air, dan pasir yang terbang jauh mungkin berasal dari nil yang hinggap dibawah kaki kita.

Sabtu, 11 Mei 2013

Nil

Kami akan selalu memuja beranda.
Dengan angin yang dibawa pasir dan aroma dupa terbawa menuju tepian laut

Kamis, 02 Mei 2013

Pada setiap senja

Hanya pada setiap senja ia duduk saja (seorang diri mungkin) menghadap jalan raya sambil menghardik satu persatu anjing yang lewat.
Lalu jika sudah lelah, ia akan rapikan kursinya perlahan lalu mengutuk punggungnya yang selalu nyeri setiap udara dingin datang.

Kemudian ia duduk di depan televisi, menyalakan api dan seribu dupa.
Ia harap dirinya berdoa. Sungguh, ia benar-benar berharap seperti itu.

Tapi jika memang besok tak sampai senja lagi, mungkin ia takkan pernah menyesal menghabiskan sore terakhirnya menghardik satu persatu anjing yang lewat.

Jumat, 26 April 2013

Setengah bagian

Bagaimana kalau kamu tiba-tiba terbangun dan menemui setengah otakmu sudah dicuri waktu,
tanyamu suatu waktu.

Aku tak tahu. Mungkin akan kupakai setengahnya untuk menari. Atau memang aku tak pernah memakai setengah bagiannya selama ini

Jumat, 19 April 2013

Anyelir

Mungkin saja jika kamu terlambat jatuh cinta padanya pada esok hari, sudah kamu temui bunga anyelir terisak dibawah sepatu.
Air matamu. Air matamu. Lalu menetes perlahan mengairi anyelir.
Lalu beberapa tahun kemudian orang-orang akan terheran-heran menemui anyelir merah tua yang tumbuh di antara trotoar jalan raya.

Yang tak pernah ada

Kalau suatu hari salah satu dari kalian atau kami membuka beberapa lembar cerita lama pun takkan ditemui cerita tentang orang yang tak pernah ada.

Tentang mimpi-mimpinya, jari kelingking dan bola mata yang berkeliaran bebas.

Orang yang tak pernah ada tak pernah meninggalkan mimpinya diatas selembar kertas. Atau dihanyutkan dalam botol. Sama tidak mungkinnya ia untuk melarung mimpinya di sungai dekat rumahnya yang tak pernah ada.

Dan ia akan berkata jujur. Maksudku dusta macam apa yang akan mucul dari mulut orang yang tak pernah ada?

Senin, 15 April 2013

(Cinta)

Maka nanti pada malam saat malam mengucapkan selamat malam padamu, aku hanya tersenyum menawarkan tangan untuk menari bersamamu.

Lalu nanti jika hujan tiba dan rintik2 aku akan menawarkan senyuman yang sebaik-baiknya senyum.

Dan kalau ternyata petir sempat hadir maka aku akan tertawa kencang dan kita terpanggang oleh (cinta) kita sendiri

Kamis, 04 April 2013

Sabit

Bulan sabit yang bersembunyi dibalik busurmu mengatakan ringan padamu untuk segera:
pulang.

Lalu rindu-rindu yang mendadak muncul di antara udara dan pepohonan sekitar membuatmu ingat untuk segera:
tidur.

Senin, 25 Maret 2013

Langit

Sedetik setelah kakimu lepas landas dari udara, kamu akan sadar bahwa pada sebenarnya kamu takkan pernah merindukan pulau ini.
Tak juga udaranya, aroma bunga di sekitarmu, dan juga cahaya yang menyeruak masuk ke jendelamu

Tapi Ya Tuhan, betapa kamu akan merindukan langit-langit yang serupa di tanah ini.

Jumat, 22 Maret 2013

Puisinya yang terakhir

Mungkin ini puisinya yang terakhir. Siapa yang bisa tahu?

Lalu nanti jika beberapa tahun kemudian ia membuka perkamen-perkamen lama, ia akan menyesal setengah mati kenapa ia tak mampu menulis lagi.

Maka jika saat itu tiba, ia akan menyalahkan mata karena buta, telinga karena tuli, dan tangannya karena lumpuh.

Beberapa waktu yang lalu

Bulan yang tiba-tiba muncul di hadapannya tak pernah peduli apakah dirinya yang saat ini adalah sama dengan dirinya beberapa hari yang lalu, beberapa bulan yang lalu, atau bahkan beberapa tahun yang lalu.

Dan udara yang datang dan pergi di sekitarnya tak pernah tahu apakah oksigen yang mengalir disekujur tubuhnya itu adalah sama atau tidak dengan oksigen beberapa saat yang lalu.

Lalu beberapa jemarinya yang menggenggam harap, tak pernah yakin apakah harapan yang dipegangnya kini adalah sama atau tidak dengan harapan yang dibawanya saat masih kecil.

Dan ia ingat benar saat ia masih kecil dan keluar ke teras rumah, disaksikannya bulan, udara dan jemarinya ada disekitarnya.

Ia sempat bersumpah bahwa apapun yang terjadi, bulan, udara, dan jemarinya akan tetap sama.

Lalu kini? Ia tak pernah tahu. Apakah bulan, udara dan jemarinya adalah bulan, udara, dan jemarinya yang sama dengan bulan, udara, dan jemarinya yang dimilikinya beberapa waktu lalu.

Rabu, 20 Maret 2013

Malam-malam

Malam-malam itu ada yang habis dengan tidur bersembunyi baik-baik diantara mimpi.

Ada pula yang habis dengan lampu kamar menerangi huruf dan angka di atas tubuhmu yang tertidur.

Ada pula yang habis denganmu menuliskan segala sesuatu yang sebenarnya kamu tak pernah tahu apa itu.

Kotak bergambar hati

Aku tak habis pikir kenapa masih kau bawa-bawa pula kotak bergambar hati milikmu itu.

Lalu kutanya pelan padamu,
"Aku tak habis pikir masih kau bawa-bawa pula kotak bergambar hati milikmu?"

Kamu menjawab pelan,

"Ini bukan kotak bergambar hati, Sayang. Ini adalah hatiku bergambar kotak."

Yang tumpah kemarin

Air matamu yang tumpah kemarin membuatku sadar bahwa aku yang sebenarnya mengalir diantara mata dan dagumu.

Tak sempat kuceritakan pada hidung dan mulutmu betapa aku merindukan cerita yang disampaikan oleh mereka saat diam.

Tak sempat pula kusampaikan rindu yang sedalam-dalamnya rindu kepada wajah, telapak tangan dan jemari yang disembunyikan olehmu dariku.

Tak sempat

Sayang kamu tak sempat hidup kemarin. Tahu-tahu kamu muncul di esok memainkan benang diatas jemari.

"Mampukah kamu membuat bola dunia dari benang-benang?"

Mana sanggup, Tuan. Aku sendiri sedang merajut langit dengan alis.

Skizofrenik

Tentu saja kamu tak bisa menyalahkan hujan yang hadir saat kamu tertidur
Atau suaranya yang mengiring dan mengirimmu ke mimpi
Dan beberapa guntur yang membangunkanmu di tengah tidur, membuatmu berpikir sejenak sekarang pukul berapa lantas tertidur lagi.

Sama seperti kamu tak bisa menyalahkan nol yang hadir mengikuti beberapa angka.
Atau betapa tentang 1 yang sedemikian merindukan 31.
Atau kamu yang merindukan bola matamu, dan aku yang merindukan bola mataku dan beberapa angka yang tak bisa lagi aku ingat.

Juga dengan sebongkah emas diatas tugu api. Tentang anak kecil yang berlari dipelataran parkir.
Dan juga tentang mimpi kemarin yang tak punah juga sampai hari ini.

Lalu saat otakmu yang mati dan membuatmu berpikir apa beda antara saat ini, kemarin dan beberapa detik yang akan datang.
Sekarang terdengar suara-suara di mulutmu. Dan dari telingamu keluar nyanyian sendu dan bisikan-bisikan yang membius kulitmu dengan aroma rindu yang dihembuskan oleh masa kecilmu.

Dari beberapa kenangan yang kamu ingat, dan beberapa kenangan yang tak pernah kamu ingat, lalu beberapa kenangan yang setengah mati kamu harapkan untuk kamu ingat.

"Mungkin kita bisa mulai dari awal lagi?"
ujarmu pada kamu. Lalu diteruskannya pada bayangmu dan akhirnya pada cahaya lampu samar-samar yang muncul tiba-tiba dari kamar.

Jumat, 15 Maret 2013

Setelah

Kita bertatapan setelah sekian lama tak bertemu.
Kamu dengan buku sketsa di tangan kiri dan pensil di tangan kananmu.
Aku dengan Probe Simpson di tangan kananku dan Diagram di tangan kirimu.

Di tengah musim

Sendimu dimakan musim nak, dan musim dingin pun belum benar-benar tiba.
Jemarimu yang membeku kini mendesiskan suara rindu terhadap api. Rindu yang sama yang diucapkannya kepada salju di tengah kemarau.

Tulang-tulangmu bergemeretak lirih. Bola matamu melirik ke sana kemari.
Tak lama kemudian kamu tertidur. Esoknya kamu tak perlu terbangun lagi untuk merasakan semua itu

Senin, 11 Maret 2013

Pada beberapa

Pada beberapa puisi aku sungguh tak tahu sama sekali tentang apa yang kutulis.
Kadang aku memuja hujan, kadang menghinanya.
Kadang aku menceritakan debu, kadang menyapunya.

Dan kadang karena aku hanya sekedar ingin menulis.

Kamis, 07 Maret 2013

Pada sebuah doa

Kami panjatkan doa karena kami sudah tak bisa memelukmu lagi.
Dan kata-kata yang terucap, rindu-rindu yang mengerak di lidah, tangisan-tangisan yang sudah mengering.

Maka kami harap dengan sesungguhnya harap bahwa Engkau akan menyampaikan kepadamu bahwa kami selalu mencintaimu.

Kamis, 28 Februari 2013

Aku ingat Ibuku

Ibu, siang kah ditempatmu saat ini?
Atau memang tak pernah ada waktu disana, sekedar 1 hari yang tak pernah berganti? Aku tak tahu Ibu.

Aku tak pernah tahu tentang kematian. Aku sungguh-sungguh tak tahu.
Apakah mati sekedar berpindah dari bumi lalu hidup ke dalam memori?

Aku ingin memlukmu Ibu. Lalu dikatakan semua akan baik-baik saja. Dan aku akan percaya setengah mati. Lalu aku tak perlu peduli tentang apapun, bukankah aku memiliki Ibuku dipelukanku?

Takkan pernah aku bisa membalas Ibu.aku ingin menangis dipangkuanmu lalu menghabiskan seluruh air mataku dan tak perlu mengeluarkannya lagi seumur hidupku.

Ibu. Sudah pagikah disana?

Maafkan atas segala luka disekujur tubuhmu. Maaf tak sempat aku basuh kakimu. Maaf aku tak pernah sempat menunjukkan betapa aku mencintaimu. Maaf untuk segala sesuatu Ibu. Maaf untuk segala sesuatu Ibu. Maaf untuk segala sesuatu Ibu.

Jumat, 22 Februari 2013

Akar kelakar

Kau cabut cerabut akar dan kelakarku.
Aku tak tahu apakah aku gusar atau parau. Atau harus mengingat sendu saat hujan putus dan kering mengangkat tubuh.

Tapi bukankah aku manusia menurutku? Lalu apa guna akarku?

Tapi bukankah aku pohon menurutmu?
Lalu apa guna kelakarku?

Mendung

Aku tulis puisi ini saat mata setengah tertutup,
dan tenggorokan setengah tercekat. Dan binatang serta bintang menjalar di lantai.

Dan mimpi menjutai di pinggir jemari.

Aku mungkin bermimpi saat ini, tak tahu.
dan penaku mungkin menulis sendiri, aku tak tahu.
Atau kertas meluncur jatuh serupa hujan yang enggan turun malam ini.

Terima kasih mendung karena kamu tak pernah diingatan saat segala sesuatu yang buruk tiba

Kamis, 21 Februari 2013

Drakula

Tak ada yang mengunyahmu. Maka aku sempat bertanya-tanya apakah diantara kedua telapak kakiku akan tetap tersembunyi tanduk-tanduk milikmu

pun juga anakmu. Kamu bersumpah tak akan menarik darahnya. Aku percaya. Namun aku tetap berandai-andai apa yang terjadi pada anak-anak yang bukan anakmu?

Apa pula yang terjadi pada jemarimu. Pada tanganmu. Pada iris dan kelopak matamu. Kau biarkan ia menggembung sementara kamu mengisakkan tangis panjang dari bola mata.

(Yang kelak kamu sungguh percaya saat tangisanmu masih berlanjut sedang air matamu surut dan sedihmu tak pula larut, hanya ada darah segar yang mengalir menggantikannya)

Tentu saja itu menurutku. Aku tak tahu tentang ceritamu. Namun bagaimana sempat kamu menjelaskan sementara jubahmu selalu melayang diantara langit malam?

Minggu, 17 Februari 2013

Lalu kamu

Lalu kamu.
Duduk sendiri di depan beranda menikmati udara.
Dan aroma kopi yang membakar hati.
Dan abu yang menyala di kejauhan.
Dan pikiranmu yang kembali padamu beberapa tahun yang lalu.

Selamat datang

Lalu kota ini mengucapkan kata-kata "Selamat Datang." yang persis dikatakannya 3 bulan lalu.
Tamparan sama yang diberikan oleh udara kota ini ke paru-parumu.
Uap air dan udara yang sama mengisi aliran darahmu.

Maka, selamat datang kembali di kota yang mungkin saja akan menjadi kotamu.
Ya, siapa tahu?

Rabu, 13 Februari 2013

Matanya

Diucapkannya selamat datang kepada matanya
Mungkin ini kotaku, ujar matanya.
Lidahnya menggeleng, namun dibiarkan angan-angannya mewakili jawaban pembuluh darahnya.

Kataku, mungkn ini kotaku.
Ujar matanya lagi.
Angannya tak cukup mampu untuk berujar. Lidahya enggan berbicara. Bukankah kata-kata dan kalimat seperti ini tak pernah dimaksudkan untuk diucapkan?

Kamis, 07 Februari 2013

Pulang

Bus yang membawamu datang tepat 3 bulan lalu kini menjelma menjadi bus yang membawamu pulang kini
Sudah tercium aroma rumahmu, empuknya kasurmu, senyum ayahmu, aroma sedap malam, semua.

Maka (mungkin) saat kamu pulang, kamu akan berandai-andai untuk apa sebenarnya kamu pergi

Rabu, 06 Februari 2013

Weker

Pada saat wekermu berbunyi dan kamu tak terbangun, beberapa jam berikutnya kamu berpikir kenapa pula kamu tak terbangun di tengah bunyi alarm sekeras itu

Mungkin karena telingamu kebas mendengar hal yang sama setiap pagi
Atau mungkin karena otakmu bosan untuk terbagun setiap pagi

Senin, 21 Januari 2013

Pada selembar foto

Pada selembar foto yang dikirimkan oleh Ayahmu, hal pertama yang kamu lihat adalah betapa tampak lelah punggungnya.

Dan wajahnya yang dulu dengan garang menantang angin, kini kendur ditendang waktu.

Dan matanya yang tetap matanya. Namun dapat kamu lihat betapa rindu tersimpan baik-baik disana.

Dan betapa kamu tak berada di sampingnya. Menjadi tulang baru bagi punggungnya, menjadi rahang yang menahan angin dan menghapus rindu yang tersembunyi dimatanya.

Jumat, 18 Januari 2013

Mungkin seharusnya

Mungkin aku seharusnya tidak disini,
ujarmu padamu sendiri.

Tapi akan berada dimana jika kamu ada di tempat selain ini pun kamu tak tahu.

Atau mungkin memang bahwa sebenarnya kamu sedang tak ingin berada dimana-mana saat ini.

Rabu, 16 Januari 2013

Yang membedakannya dengan senja

Yang membedakannya dengan senja mungkin hanyalah ia tak perlu menjadi abu untuk menutupi matahari dan sekedar bangun lalu menggerakkan tulangnya.

Mungkin juga karena ia tak pernah peduli harus muncul kapan. Karena selama ini ia sadar betul bahwa senja tak pernah datang terlambat.

Atau mungkin (dan memang sangat mungkin) yang membedakannya hanya sekedar bahwa ia ingin setengah mati menjadi senja sedang senja tak pernah terbayang sedikit pun ingin menjadi dirinya.

Selasa, 15 Januari 2013

Insomnia

Beberapa malam yang dihabiskannya sendiri selalu membuatnya bertanya-tanya kenapa ia terbangun di tengah-tengahnya dan enggan untuk tertidur kembali.

Ia duga itu cara malam memarahinya. Untuk beberapa saat saja. Lalu saat marah malam reda, dibiarkannya tertidur kembali.

Dibuainya ia dengan iringan angin, gemericik daun dan kehadiran embun. Dan ia tertidur.

Mungkin malam memarahinya karena pada malam-malam lainnya ia habiskan diatas kursi dan memikirkan tentang segala sesuatu.

Jadi pada malam-malam tertentu, ia terpaksa membiarkan malam mencuri tidurnya

Sabtu, 12 Januari 2013

(Atas) Nama

Saat air matamu turun, ia sungguh tak tahu apa yang bisa dilakukannya.
Ia berharap ada disampingmu, memelukmu, lalu mengatakan padamu bahwa semua akan baik-baik saja.

Namun ratusan kilometer yang memisahkan kalian, membuat sayatan-sayatan kecil pada tali yang saling kalian genggam.

Karena itu, ia izinkan seseoarang dengan (atas) namanya disampingmu, memelukmu, lalu mengatakan padamu bahwa semua akan baik-baik saja.

Lalu beberapa ratus kilometer jauh situ ia telan sendiri air matanya dan berharap bahwa pada nantinya akan kembali di titik tengah.

Entah ia, entah dirimu

Dalam perjalanan

Maka tepat saat berada di perenaman yang akan membawamu ke Sambera, kamu baru benar-benar sadar bahwa sesungguhnya kamu tak pernah tahu berada dimana sesungguhnya.

Yang kamu lihat hanya pepohonan di sekeliling, angin yang tak berubah, dan aroma kelelawar yang begitu. Selalu begitu.

Diharapkannya olehmu bahwa kamu akan ditempatkan pada tempat yang baru. Harapan yang tak perlu karena memang kamu akan berada di tempat baru beberapa jam kemudian.

Jadi kamu nikmati saja duduk di udara, telapak kaki menyentuh lumpur dan besi, serta atap-atap berminyak yang menggores rambutmu.

Tak ada yang duduk di kananmu. Kamu sendiri. Benar, kamu sendiri. Maka dinikmatinya aroma dupa dan debu yang terbakar di udara.

Nillam

Maka setelah diputar-putarnya olehmu sambungan-sambungan peralatan satu sama lain, kau mendongak dan menatap ke angkasa lantas bergumam:

"Ya Tuhan, awan berlarian kesana-kesini, angin membawa hujan, dan matahari bersinar terang-terang ke bumi. Mengapa aku harus bekerja di hari seindah ini?"

Sesaat kemudian kamu diam. Lalu kembali memutar-mutar sambungan peralatan. Lalu diam, mendongak dan menatap angkasa lantas bergumam:

"Ya Tuhan, burung terbang lantang-lantang, pepohonan menutupi langit, biru mewarnai angkasa. Mengapa aku harus bekerja di hari seindah ini?"

Sesaat kemudian kamu diam lago. Lalu kembali memutar-mutar sambungan peralatan. Lalu diam. Pada akhirnya kamu menulis puisi ini.

Kemudian kamu memutar-mutar peralatan lagi.

Selasa, 08 Januari 2013

Selembar foto pinggir kapal

Tepat sesaat setelah (andaikan) kamu lepas balon putihmu itu, maka benar-benar kuharapkan bahwa heliumnya cukup kuat untuk membawanya ke muara
atau kota kecil. Aku tak pernah yakin berada dimana saat fotomu diambil.

Tapi sungguh, dan memang benar-benar sungguh, aku harapkan aku sedang ada di balik lensa dan membidikmu yang sedang tersenyum sembari memegang balon putih berhelium.

Pada segala sesuatu

Pada kerumunan kami titipkan harapan-harap kami yang tersisa di tengah kepulan helium di udara

Lalu pada radio kami sembunyikan kesunyian.

Sebenar-benarnya kesunyian

Kamis, 03 Januari 2013

Timbal

Mari ke malam-malam beberapa bulan lalu karena memang aroma timbal yang terbakar akan selalu mengingatkanmu akan sebuah ruangan di dekat jembatan
Bagaimana kau habiskan waktu di pohon akasia, menanti para pemancing dan berjalan berdua dengan imajinasi di atas besi-besi

Setengah mati kamu benci pada timbal yang menguap kamu tahu kamu akan selalu merindukan duduk menatap langit dan berpuisi pada gemerisik dedaunan di atas kepalamu

Ah, betapa kamu rindu