Selasa, 10 September 2013

Puisi tengah malam

Telah tuntas kau dihajar malam. Jadi kamu hanya duduk di trotoar jalan sambil menyeka pelan darah yang mengalir di bibirmu.

Siapa yang bilang puisi tak bisa menjadi cerita?

Diseberang kamu lihat bangkai tikus. Kamu ingat rumahmu dan kenangan yang tak pernah kau tinggal. Aku ingat saat kamu duduk di meja makan sembaro bercerita tentang suatu ketika. Lalu kamu teruskan bermain dengan sembrono dan kau biarkan aku tersenyum menyaksikan.

Sudah waktunya pulang kurasa tapi kamu enggan beranjak dari trotoar. Kamu berharap azan subuh menempelengmu pelan namun kau tak sadar di sekitarmu tak ada musola.

Tak pernah ada musola.

Semalaman kamu biarkan malam menghajarmu hingga habis. Dan kini saat kamu mengaduh kamu mengingat sudah beberapa tahun sejak terakhir kamu berdoa.

Mungkin Tuhan akan mengabulkan. Mungkin Tuhan sekedar mendengar dan takkan mengabulkan. Mungkin Tuhan seperti pacar paling pencemburu.

Lalu ia berpikir apabila dari doanya ia akan diberikan yang terbaik, apa gunanya ia berdoa?
Jika ia tak diberi apa-apa, apa gunanya ia berdoa?
Jika Tuhan diam saja, apa gunanya ia berdoa?

Dan sekali lagi aku tanya, siapa yang berkata bahwa puisi tak mampu bercerita?

Ia ingat jutaan bangkai tikus yang terkapar si pinggir jalan selama ini dalam hidupnya. Ia berpikir apakah pernah ada duka melintas di kepala orang? Atau jijik saat membayangkan seekor tikus mati?

Lalu nanti (dan ia benar-benar berharap nanti) ia mati, apakah akan ada duka melintas di kepala orang? Ataukah hanya ada orang yang merasa jijik membayangkanmu mati?

(Dan apa sebenarnya perbedaan ia dengan bangkai tikus di pinggir jalan?)

Masih adakah yang sangsi puisi tak mampu memberikanmu cerita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar