Senin, 31 Desember 2012
Keramaian
kamu bayangkan pintu terbuka, kembang api bersahutan di atap kamarmu lalu terompet-terompet bergantian meneriakkan:
"Selamat tahun baru."
Minggu, 30 Desember 2012
Ditengah kerumunan
Hanya ada jantungnya di trotoar jalanan, jemarinya di saluran air dan bola matanya tergantung di tiang listrik dekat taman
Selasa, 25 Desember 2012
Spasi
Ia selalu iri kepada huruf a yang selalu hinggap di setiap kata.
Mungkin juga iri kepada z yang walau jarang namun selalu menunjukkan kegagahannya setiap muncul.
Ia bisa saja lahir di puisi-puisi lain dan menjelma menjadi i pada "Bulan Juni".
Atau bisa saja (jika beruntung) diizinkan untuk hadir menjadi u pada "Cita-cita".
Namun ia sabar saja dan tak pernah protes padaku ia lahir hanya menjadi spasi pada puisi ini.
Diberkati
Berkat itu, ia bisa kembali memuja aroma tanah tercampur tetesan-tetesan air dari langit.
Terkenang ia akan malam-malam yang habis sendirian di depan pintu kamarnya kamar.
Terberkati pula aroma asap diudara yang membuatnya beberapa tahun lebih muda.
Terberkatilah cahaya kilat sesaat yang muncul terkadang saat hujan malam ini.
Membuatnya teringat akan betapa rindunya terhadap siang hari yang baru ditinggalkannya beberapa jam yang lalu.
Diberkati pula bulan Desember yang membawanya duduk di atas kursi saat menulis puisi.
"Aku ingin,"
Begitu lirihnya.
Tak ada yang mendengar, karena itu ia memberkati segala hal yang ada di sekujur tubuhnya.
Ia izinkan katak melompat-lompat girang dari tanah. Pun juga suara gemuruh petir yang walau datang terlambat, selalu dengan sederhananya dapat membuatnya berkata-kata dalam huruf dan titik.
Senin, 24 Desember 2012
Kepada angin
tulis ia di sudut kiri atas suratnya.
Dijadikannya jemari sebagai pena, ujung kuku sebagai ujungnya dan air liurnya sendiri sebagai tinta.
Betapa aku iri padamu,
lanjutnya.
Ia jadikan suratnya kepada angin sebagai puisi pendek.
Ia tak tahu tentang kenapa dan mengapa ia harus ada disini.
Bukankah sudah ada telapak kakinya yang menuntunnya, namun angin semalam menerbangkannya kesini. Dan ia rindu untuk terbang lagi.
Karena itu, ditulisnya entah surat entah puisi untuk angin pagi ini.
Sabtu, 22 Desember 2012
Pepohonan
Tak pernah dikatakannya. Setengah mati ia rindu dengan pohon jambu yang ketika berbuah ia panjat sampai atas lalu berkelahi dengan tupai sambil tertawa-tawa.
Rindu pula ia dengan angin yang hinggap di bahu kanannya membawa aroma sungai dari ujung desa di balik bukit.
Ia rindu akan mimpi-mimpinya yang dititipkan di akar pepohonan jati saat masih ia dan pohon-pohon itu masih kecil dan sama tingginya.
Lalu saat beberapa puluh tahun kemudian ia datang ke desanya, ia terkejut setengah mati saat kembali ke pepohonan jati.
Ia menangis dalam hati. Benar, ia menangis. Ia berteriak keras,
"Sudah tersampai impianmu jadi pepohonan menusuk langit. Kini aku, masih saja aku. Berkeliaran di akar-akar pepohonan, berkelahi dengan tikus-tikus hutan untuk sekerat daging."
Pepohonan itu diam. Ingin disuarakannya, namun apa daya bukankah pepohonan selama ini tak pernah bisa berbicara?
Ia kemudian diam. Pepohonan diam. Hanya ada tangisannya diam-diam bergema disekujur pepohonan.
Desember yang baik
Ia menebak cempedak hanyalah kawan lama, tak disangkanya ia bersyukur menyicipinya saat setengah matang.
Bulan Desembernya (ah Desember yang baik) diisinya dengan menulis. Ya, menulis.
Ada dalam harapannya bahwa ia sedang tak berada disini, tapi mau dimana ia tak tahu. Ia tak pernah tahu. Karena itu ia menulis.
Ia berbicara dengan jutaan orang dan tersenyum saat dirasakannya hidup satu-satu. Dalam satu persatu cerita, setiap mulai ia kesal tak hidup dalam masing masing cerita. Namun pada setiap akhir, ia merasa bersyukur ia tetap menjadi ia karena bisa didengarkannya jutaan cerita itu satu persatu.
Pada awal, tengah, dan akhir puisi ini. Dan pada tengah malamnya.
Ia masih tak ingat atas beberapa mimpi yang hinggap ke pikirannya semalam, pun juga tentang rasa kantuk yang sempat mendekapnya untuk terlelap.
Ia teringat saat terlahir beberapa puluh tahun, mungkin karena itu ia muak tak pernah ingat mimpinya semalam.
Ia lebih muak lagi tak bisa ingat waktu. Sudah beberapa tahun matanya buta tapi tak pintar-pintar juga ia membedakan rasa matahari atau bulan di sekujur tubuhnya.
Ia tak terpikir untuk mencerabut gendang telinganya. Tidak, sungguh tidak. Ia mengusap ginjalnya lalu dalam hati merasa bersyukur bahwa ia dapat kencing dengan tenang setiap pagi saat terbangun.
Lalu semalam, ya semalam. Seperti pada awal puisi ini diceritakan, ia mendesis pelan:
"Ya Tuhan, sudah pukul berapa siang ini?"
Ia tak hendak bertanya pada Tuhan. Puluhan tahun ia bertanya pada Tuhan setelah terlahir, Tuhan tak pernah memperdengarkan suara-Nya di telinganya.
Ia iri pada Musa. Tentang betapa terhormatnya ia bisa berbicara dengan Tuhan nya lewat rerumputan yang terbakar.
Ia pernah mencoba membakar rumput untuk berbicara dengan Tuhan. Namun saat ganjanya dihisap dan mengalir di aliran darahnya, tak ditemukan Tuhan dimana-mana. Ia menemukan dirinya. Dan telinga kirinya berbicara pelan di hadapannya.
Ia tak habis pikir dengan masalah Tuhan, pikirannya terlanjur habis. Hanya malam-malam yang ia habiskan mendengar lagu dan asap yang hilang di paru paru. Tinggal menjadi racun.
Lalu seperti pada awal dan pertengahan puisi ini, ia berkata pelan. Mendesis. Sambil terkaget-kaget,
"Ya Tuhan, sudah pukul berapa siang ini?"
Ia tak tahu waktu. Pikirannya ia rasa pada hari ini namun impiannya tertinggal kemarin. Tuhan ia raba pada urat lehernya, ia berandai-andai manakah tempat yang lebih dekat dari itu?
Kerincingan
Ia tak habis pikir, bukankah satu bulan penuh ia berharap emas mengalir di sungai dan perak berhamburan di persawahan. Maka saat kini kepingan turun dari langit, ia tak mengerti kenapa kepalan tangannya menghadap bawah kemudian ia meninju keras ke bumi sambil berkata lantang,
"Anjing!"
Rabu, 19 Desember 2012
Isak
Ubin-ubinmu berderik rindu, pepohonan terkenang saat menyelubungimu dengan bayang-bayangnya.
Meja makanmu tumpah ruah, gelas-gelasmu pecah, dan kuburan ibumu. Dan kuburan ibumu.
Betapa kamu merindukan malam-malam saat adzan maghrib masih tersangkut di telinga dan kamu seorang sendiri banjir diatas nisan.
Kamu ucapkan kalimat rindu sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya. Dan kau rindu dengan sesungguh-sungguhnya. Sesungguhnya-sungguhnya.
Kau bayangkan takkan sempat anak-anakmu memanggil neneknya. Tak sempat pula dicicipinya masakan-masakannya. Tak sempatnya diceritakan tentan keluarga alan. Tak sempat pula dibacakan olehnya doa saat perut-perut kecilnya merintih kesakitan.
Dan kamu merindukannya. Siapa yang tidak.
Kamu butuh tidur. Ah tidak, kamu tak pernah butuh tidur. Kamu hanya selalu butuh mimpi. Dan mimpi adalah penawar rindu termurah yang terbaik.
Aku meneleponmu malam-malam tadi
Sedetik sebelumnya hanya ada pepohonan dan sisa-sisa hujan disekelilingku. Sedetik kemudian, kita duduk berdua dengan wajahmu di segala sudut mataku melirik.
Aku bentuk wajahmu dari masa lalu, sebaik-baiknya. Rambutmu, bentuk rahangmu, matamu, semuanya.
Kusadari beberapa tahun lepas, aku tak tahu bagaimana wajahmu kini.
Masih adakah sinar-sinar matahari di irismu?
Masih adakah ombak-ombak laut bersembunyi di rambutmu?
Masih adakah bukit-bukit berbunga matahari di ujung hidungmu?
Lalu aku duduk disampingmu. Mungkin kamu juga tak peduli. Tak mengapa, apa peduliku jika kamu tak peduli?
Saat-saat itu aku berharap tubuhku serupa oksigen, melayang pelan ke arahmu, menyapa ringan paru-parumu lalu hilang menjadi karbon.
Senin, 17 Desember 2012
Diucapkan selamat malam dan tinggal
pada bantalnya,
pada selimutnya.
Pada semuanya
Satu-satunya yang tak ditinggalkannya adalah para mimpi-mimpinya
Sabtu, 08 Desember 2012
Ujar(m/k)u
ujarmu.
Aku tak tahu kamu lupa,
ujarku.
Karena itu aku bilang,
ujarmu.
Apakah itu merubah sesuatu?
tanyaku.
Tidak, tapi kurasa kamu ingin tahu.
Ujarmu.
Aku tak peduli,
ujarku.
Jadi kemarin
Payung di tangan kanan dan mendung sore hari di tangan kiri
Matamu menatap pintu rumahku sementara aku menunggu di balik pintu
Selasa, 04 Desember 2012
Semalam berdua
Aku memesan kelambu. Sedang bola matamu sibuk mengelilingi menu dan menimbang mana yang lebih baik:
Angin atau Debu.
Kemudian botol tiba. Ia pecahkan dirinya sendiri. Kamu pungut pecahan-pecahan beling, kamu lumat dengan tangan.
Aku terkejut melihat darahmu mengalir diantara beling kecil-kecil. Kamu tiup, tertawa-tawa lantas bertanya:
"Tahukah kamu apa yang aku lakukan?"
Aku bergidik, kemudian menggeleng.
Kamu tertawa semakin kencang. "Aku juga tidak."
Lalu kelambu tiba. Kamu terbangun. Tanganku berdarah.
Hujan mencintaimu sebaik-baiknya
ia izinkan kamu membakar dupa sembari melihat gemerincik air di atas dedaunan seberang pandangmu
ia memukul sendimu agar tak mengeras, lalu membiarkan kamu tidur dengan baik. Sebaik-baiknya tidur.
Ia turun lantas naik lagi. Di antaranya, ia membuatmu terduduk lantas berdoa.
Senin, 03 Desember 2012
Semanggi
Saat kubuka, ia berkata pelan:
"Hujan kah di luar?"
Aku tak mengerti, kemudian menggeleng.
: "Bukankah kamu yang semenjak tadi berada diluar?"
Ia diam. Kupikir ia menggeleng.
: "Gilakah kau?"
Aku menggeleng. Mungkin mengerti.
"Apa aku gila karena tak mengerti apakah di luar hujan atau tidak?"
Ia tersenyum. Kemudian berkata:
"Justru hujan turun saat kamu menjadi gila."
Lalu hujan turun deras. Daun-daunnya tercerabut dari batang dan hilang disapu angin. Aku terdiam sendiri. Gilakah aku?
Aku (Papa)
tapi mungkin tidak akan menyakitkan jika anda ingat bahwa saya yang membukakan pintu kepada anda malam-malam setengah mengantuk.
Anda boleh jika berkenan untuk duduk dan makan dengan siapa saja
tapi mungkin akan sedikit menyenangkan jika anda ingat saya lah yang bangun pertama pagi-pagi lalu menghujanimu dengan doa sampai kau basah kuyup.
Anda tentu saja diizinkan jika ingin melangkah dan terbang kemana-mana
tapi mungkin akan baik (jauh lebih baik) jika anda tahu bahwa saya akan selalu menunggu di depan pintu, menelesuri lorong hidup satu satu dengan satu harapan untuk bisa bertemu denganmu.
Menulis saat hujan
padahal di luar hujan sedang turun deras-derasnya
padahal biasanya saat hujan, dia akan pergi ke bawah pohon lalu menari sampai basah kuyup
kemudian saat hujan reda, ia akan berteriak-teriak keras:
"Lagi! Lagi! Lagi!"
Tentang dirinya
Telapak kakinya,
celah-celah di jemarinya,
kerutan di tumitnya,
lapisan tipis di atas kukunya,
bayangannya,
pantulan korneanya,
sendi-sendi di punggungnya,
semuanya.
Tapi ia paling benci tentang dirinya yang merasa bahwa dirinya adalah bukan dirinya dan terus saja berdusta dengan cara menulis puisi.
22 Tahun
Dengan begitu, saat ditulisnya ditulisnya puisi ini ia akan tepat berusia 22 Tahun kurang 1 hari.
Tapi mau bagaimana lagi? Saat ditulisnya, bocah ini tepat berusia 22 Tahun
Kembang di pojok kanan atas
Kembang merah itu tak pernah bisa menyalahkan dirinya mengapa ia harus lahir sebagai kembang yang hanya akan hidup di pojok kanan atas amplop dan diam saja.
Ia tak sempat merasakan matahari, udara segar atau kumbang-kumbang yang mengelilingi batang dan daunnya.
Ia hanya kenal lampu sortir, udara apek dalam tas pak pos atau jari jemari lincah petugas pos.
Yang tak pernah disadarinya adalah tentang betapa irinya kembang merah dipinggir jalan terhadap kembang kecil yang hinggap di pojok kanan atas amplopmu.
Kembang kecil dipinggir jalan itu akan tumbuh lalu mekar sesaat. Sedang kamu, kembang merah di pojok kanan atas amplopmu akan mekar selamanya
Minggu, 02 Desember 2012
Kamus
di dalam kumpulan kata, takkan ada kata: mana,
siapa,
apa,
mengapa,
bagaimana.
Sehingga nanti, orang-orang takkan lagi dapat bertanya:
mana,
siapa,
apa,
mengapa,
bagaimana.
Yang ada tinggal rasa penasaran yang sesungguhnya. Rasa penasaran yang andaikan sudah ada kata-kata:
mana,
siapa,
apa,
mengapa,
bagaimana
pun tak pernah bisa hilang
Sabtu
Dikatakan bahwa waktu itu adalah sabtu dan tak ada yg bisa dilakukannya kecuali percaya dan melihat kalender masa lampau
Ia teringat akan cerita-cerita lalu dari mulut ibunya.
"Kamu akan selalu menjadi yang pertama."
Dan kini ia tak bisa lagi meyakinkan dirinya hal yang sama.
Apakah ibunya benar-benar mengatakan hal itu? Apakah ingatannya serupa liat yang terbentuk?
Tak bisa ditanyakan lagi tentang hal yang sama.
Sabtu seperti ini mengingatkannya akan sesuatu yang sebenarnya tak pernah ada di dalam ingatannya
Telapak tangannya
Diputar-putarnya sejenak dan ia coba memastikan bahwa tangannya adalah tangannya
Jemarinya panjang menjuntai dan ia berpikir ringkas, "Apakah selama ini jemariku sepanjang ini?"
Minggu, 18 November 2012
Jejak kaki
Langkah-langkah kakinya habis, jejak terakhirnya lunas di depan gedung.
Tersimpan baik-baik segala cerita dalam benakmu.
Kepahlawanan kemarin, kepecundangan tadi sore, semuanya.
Pikirannya habis, dirinya habis.
Ia tak tahu sejak kapan mengarahkan kakinya kemari
Balikpapan
Angin menggerus sungai hingga habis. Hanya tersisa puyuh rindu dan magis yang mengiris kuping
Ada pantai di seluruh kota. Di belakang rumah, pertokoan, selokan, semua.
Bangunan terburuk pun memiliki pantai. Dan bandara yang muncul di atas pelabuhan.
Jalanan-jalanan asing yang dalam hati membuatmu bersumpah bahwa kamu pernah kesini sebelumnya. Tapi kamu tidak. Ini bukan kotamu. Impianmu tak pernah kemari. Masa lalumu ada di kota-kota lain.
Sedang masa depanmu? Siapa tahu...
Riuh
Yang tersisa hanya kumpulan debu yang terbawa angin timur jauh
Sudah tak ada lagi ucapan salam dari barat. Sedang mereka kini sudah berada dalam waktu yang sama
Tak ada yang ada di masa depan salah satu dari antara mereka. Detik yang sama, menit yang sama, jam yang sama. Semua
Dalam pandangan mereka hanya ada waktu yang sama. Tak ada lagi awan yang menggelayut enggan di atas kepala mereka. Matahari pun tetap sama. Rembulan tak pernah kemana-mana.
Mereka tak perlu kemana-mana. Karena semenjak tadi, rindu tak datang lagi riuh-riuh.
Sela jemari saling terisi. Air mata berhenti.
Tak ada rasa sesal yang menyuruhnya untuk menulis. Tak ada pula rasa sedih. Senang, duka, cinta, semua tak ada.
Ia hanya memperhatikan jemari menggerakan besi perlahan. Ia menunggu. Di waktu yang sama. Langit yang sama
Maka sejak itu, rindu sudah hilang riuh-riuh.
Dan kemarin saat rindu datang terakhir kali, ia menyesal setengah mati tak dinikmati rindu sebaik-baiknya
Senin, 12 November 2012
Kerangka
sudah habis daging dikerat tanah.
Bola mata bergulir lepas. Rahang jatuh kesamping.
Rambutmu masih melekat. Namun kulit kepala perlahan menghilang.
Dan tinggal waktu, kita menjadi kerangka.
Rangka, daging, dan kulit.
Perlahan kita habis jadi hilang lalu benar-benar pulang
Kamis, 08 November 2012
Pertanyaanmu
Karena aku tak tahu. Sungguh tak tahu.
Aku tak tahu kenapa harus ada kelingking bersebelahan dengan jari manis pada tangan.
Aku juga tak tahu kenapa aku harus mendengar pertanyaanmu pada malam hari dan hanya tersenyum.
Kalau kujawabkan, "Aku mencintaimu." Sudah cukup terjawabkah semua pertanyaanmu kini dan nanti?
Minggu, 04 November 2012
Rumah kita
Atau bisa saja kita buka sendiri dan melangkah keluar.
Atau bisa saja kita menunggu di tengah ruang tamu dan memperhatikan bel saat berdering.
Nanti saat berdering, kita akan berlomba menuju pagar sambil menerka siapa yang ada di balik pintu.
Bisa saja kita duduk dan mengopi di beranda. Membiarkan kucing-kucing hilir mudik di antara kita.
Atau mungkin saat lelah, kita bisa berbaring di kasur lalu menebak berapa jumlah domba dari masing-masing kita hitung dalam pikiran kita.
Lalu jika nanti tiba dan benar-benar tiba. Mungkin kita akan menumpuk di halaman belakang rumah dan membuat terkejut orang-orang di masa depan yang hendak membangun pondasi baru untuk rumhanya.
Ah rumahnya. Betapa rumah kita tak akan menjadi rumah kita untuk selamanya.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Selamat malam, Ibu
Aku tak tahu apakah rindu pernah berhasil dituliskan. Atau cinta. Atau rindu. Atau cinta. Atau cinta. Atau cinta.
Dan betapa sebenarnya aku amat mencintaimu, Ma. Betapa aku merindukan mendengar suaramu, caramu mengetuk pintu, menungguku dibawah tangga setiap pagi.
Betapa aku merindukan masakanmu. Aku merindukan senyummu.
Aku sebenarnya berencana untuk menulis tentangmu dalam waktu lama. Tapi aku bisa apa?
Aku selalu teringat atas darah. Aku teringat atas doa-doamu yang selalu kau rahasiakan. Aku merindukanmu untuk apa apa yang engkau lakukan dan tidak lakukan
Jumat, 12 Oktober 2012
Dalam puisiku
karena aku tahu kau mencintai hujan.
Alasan yang sama kenapa aku selipkan aku diantara puisi-puisiku.
Minggu, 07 Oktober 2012
Puisi kedai kopi di senin pagi
Aku kira udara sudah menjelma asap. Dan rindu sayup-sayup berubah menjadi cemburu
Aku benci setengah mati ketika Satpam yang berkali-kali menyuruhku menunggu di luar.
Aku tak bisa marah kepada satpam karena menyuruhku menunggu, karena akhirnya aku bisa menulis satu puisi disini.
Bagaimana aku menulisnyá
Panah di fotomu yang menunjuk ke atas. Oh Tuhan, aku tak tahu apa yang kutulis. Aku tak tahu apa. Aku tak tahu apa-apa!
Dan ini takkan pernah dapat berjalan. Aku bersumpah ini takkan pernah bisa berjalan. Aku mungkin bercanda tapi aku serius. Mungkin untuk sementara. Mungkin untuk selamanya. Tak ada yang tahu. Aku tak peduli. Tak ada yang peduli.
Siapa yang ingat tentang aturan dan ide?
Kita selalu benci untuk duduk berdua di kafe itu tapi selalu tertawa-tawa saat makan di kafe lain. Aku tahu dan mungkin kamu juga tahu. Apa bedanya apabila kamu tak tahu?
Aku berharap kita masih duduk berdua di dalam mobil, menyanyikan lagu lalu tertawa saat kita berdua lupa liriknya. Kau akan menertawakan selera musikku. Kau menghina monas. Kau menghina lawakanku. Aku memuji dirimu, cahaya, dan Dzat yang menciptakanmu.
Dan aku harap kamu tak menanyakan kenapa aku menulis ini. Aku tak tahu tulisan apa ini. Mungkin sekedar untuk menulis? Sedetik sebelum aku menulis puisi ini aku berdusta namun setidaknya aku tak berbohong saat menulis.
Satu detik
Apa jadinya kita jika yang tersisa hanya aku dan segelintir (ka)mu?
Senin, 01 Oktober 2012
Sabtu, 29 September 2012
Apollonia
Dinyanyikan lagu-lagu di puncak gedung dan yang tersisa bagi kita hanya hembusan angin-angin dingin di pinggir jalan
Dan saat beberapa orang menyanyi riang di trotoar, akan kami tangiskan cahaya agar terang malam ini
Ah Apollonia. Betapa kami berharap tak pernah pergi kemana-mana
Sabtu, 22 September 2012
Apa yang kutulis dan mengapa aku menulisnya
Sebab kadang memang aku tak tahu apa yang kutulis dan mengapa aku menulisnya.
Dan bukankah huruf-huruf, kata-kata dan kalimat-kalimat tak pernah peduli tentang apa yang kutulis dan mengapa aku menulisnya.
Bara
"Untuk apa kau nyalakan tungku jika sekedar bara pun kau tak punya?"
Maka aku sungguh tak tahu harus menjawab apa selain berandai-andai bahwa kita tak harus selalu berharap pada bara. Bukankah kita punya kayu?
Sama, ketika malam-malam kau putuskan untuk keluar diam-diam.
Aku terlelap dan sungguh mati kukira aku bermimpi saat kau mengendap-endap meninggalkan pintu rumah
Dan lampu pun tetap gelap. Hanya jarum-jarum jam bergeser pendek ke sana kemari.
Aku berharap kau mengucapkan selamat tinggal.
Tapi untuk apa berharap pada orang yang menanyakan kenapa aku menyalakan tungku walau tak memiliki bara?
Aku tulis puisi ini
Dan andaikan kau tak percaya aku masih mencintaimu, apa gunanya pula aku tulis puisi ini?
Kamis, 20 September 2012
Ruci, akhir 1
"Masuklah kau melalui teling kiriku!"
Bima bingung lantas menggeleng
"Untuk apa kugunakan telingamu sementara aku memiliki telingaku sendiri?"
Diseru pada Bima
"Masuklah pada diriku!"
Bima balas berseru,
"Aku tak bisa masuk dalam dirimu. Mana bisa, sedangkan aku adalah aku dan kamu adalah kamu?"
Diseru pada Bima. Singkat.
"Kita!"
Bima diam. Ia mengerti. Maka masuklah ia ke dalam Ruci. Lewat telinga kirinya
Selasa, 21 Agustus 2012
Selembar kertas
Aku mungkin merindukan tentang kemarin. Anak yang sama di foto itu kini menarikan jemari lincah diatas tuts-tuts kata. Ia merindukan bundanya. Ia merindukan malam-malam yang dihabiskan oleh bundanya mcenasihatinya dan ia tak mengacuhkannya. Ia sekedar merindukan senyumannya, suaranya. Ia ingin suaranya dihina jelek kemudian mereka tertawa bersama karena suara mereka sama jeleknya.
Ia merindukan malam yang sempat habis saat ia mengatakan bahwa ia menyayangi ibunya. Ia menyesal tidak diulanginya kata-kata itu sejuta kali setiap malam. Ia rindu dengan wajah gembira ibunya yang masih terekam erat. Ia merindukan suara ibunya yang masih menempel di telinga. Ia rinu dengan aroma ibunya yang tak pernah hilang dari lubang hidung.
Ia benci kematian. Untuk apa mencintai seluruh ciptaan Tuhan? Ia harus ada, lelaki itu setuju. Namun bukan lantas berarti ia harus mencintainya juga kan?
Ia merasa sendiri. Ia hidup di kubunya sendiri dimana ia meringkuk di sudutnya sementara seluruh orang di dunia berada di sudut lain. Ia mrindukan ibunya yang selalu ada di sampingnya. Yang sebenci-bencinya wanita itu terhadap pemudia itu betapa ia lebih mencintainya.
Pemuda itu heran mengapa bisa ada manusia membiarkan ada makhluk hidup di perutnya selama 9 bulan, menydot darahnya, lalu dikeluarkan namun tetap dicintai setengah mati. Ia heran kenapa ada manusia memberikan cinta yang tak habis-habis, cinta yang tak akan pernah (dan tak pernah diharapkan) untuk dibalas.
Andaikan ia bisa mengulang waktu ia tak ingin apa-apa. Sungguh iatak ingin apa-apa. Ia ingin menemui ibunya dibawah tangga setiap hari lalu menciumnya dan mengatakan bahwa ia mencintainya. Ia mencintainya. Ia mencintainya.
Minggu, 05 Agustus 2012
Sebaik-baiknya syair
Tentang Tuhan yang Maha Pemurah, yang bisa saja memilih diatas sepanjang masa namun memilih turun ke langit dunia dan mendengar doamu lantas mengabulkannya.
Ya, mendengar doamu lantas mengabulkannya.
Tentang garis-garis halus di telapakmu. Tentang butiran-butiran sel dalam tubuhmu. Tentang titik-titik rambut di sekujur kulitmu.
Yang bahkan tak sempat kau hitung, tapi kau gunakan semena-mena.
Tuhan diam. Tuhan mengetahui. Tapi Tuhan diam.
Ia lebih memilih untuk mengingatmu saat kau mengingat-Nya. Ia lebih memilih mendekat sehasta ke arahmu ketika kau mendekat sejengkal ke arah-Nya. Ia lebih memilih berlari ke arahmu saat kau berjalan ke arah-Nya.
Namun kau gunakan tanganmu untuk menganiaya. Kau gunakan mulutmu untuk berdusta. Kau gunakan kakimu untuk menipu daya.
Maka malukah kau jika ditanya berkali-kali?
Dan nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?
Minggu, 22 Juli 2012
Monyet
Pagi itu, tak ada gemeretak jendela yang dipermainkan angin. Hanya ada kita, (aku), dan aku. Tak ada angin.
Untuk apa menjadi langit kalau tak pernah bisa didaki?
Tak ada yang akan menggemakan suaramu. Impianmu habis tergerus hujan sama seperti hujan melubangi batu.
Sabtu, 14 Juli 2012
Suatu malam di Yogya
Pun segelintir harapan dan selendang yang terbang, hanya mengingatkannya atas jutaan volt 3,8 kilo saat anaknya lahir
Malam itu, dengan baik-baik diketuk pintu rumahanya mengharap seseorang merantangkan tangana memeluk hagat siapapun yang mengetuk.
Oh, bagaimanakah kita berbagi dengan robot-robot pengikut garis sedang dentuman besi dan dentingan senar membuatmu merasakan waktu.
Saat 7 hari kalian menuju semesta, oh betapa bulu roma kalian merinding
Minggu, 08 Juli 2012
Kisah tentang kemarin
Karena itu, saat kedipan itu padam, yang tampak didepan matanya hanyalah samudera tak berujung sedang di kakinya tercerabut semua kekuatan untuk berdiri
Diujung lidahnya tertambat kata-kata bagai mantra:
"Bukankah memang selama ini kami adalah deru campur debu?"
Selasa, 12 Juni 2012
Adalah bukanlah adalah
Mengunyah apel adalah menguapkan jerami sembari mencoba menerka mengapa gitar memiliki senar dan seruling memiliki celah diantara kosong tepat disaat tali sepatumu hampir terlepas dan saatu kau terjatuh maka beberapa buku yang baik akan menjagamu agar tidak terjatuh
Tertawa adalah menduga pembuatan puisi adalah rangkuman dari proses penyaringan teh yang amat sulit yang mencegahnya tercampur dengan tangisan bayi subuh hari dikarenakan rantai sepedamu kendur sedari beberapa waktu yang akan datang
Kusapa engkau
mungkin tak kau dengar tapi selama ini semua rinduku kuanggap udara yang melindungimu.
Semua rindu-rindu atas tangisku adalah angin, adalah lagu, adalah langit, adalah biru, adalah suka, adalah duka.
Tak ada bedanya.
Selasa, 05 Juni 2012
Perempatan terakhir
Sudah kukatakan berkali-kali aku hafal dan mengerti jalan ini
Namun kau seperti biasa (dan entah mengapa selalu dapat kumengerti) memaksaku untuk bertanya pada orang di pinggir jalan
Maka saat kita benar-benar tersasar kali ini aku tak tahu harus menyalahkanmu, aku, kita, atau orang di pinggir jalan
Minggu, 03 Juni 2012
Di kereta sore hari
beberapa orang dan sedikit hantu melirik liar mengira-ngira apakah kereta itu akan mengantar mereka ke stasiun yang mereka tuju.
Beberapa orang masuk. Beberapa orang keluar. Beberapa diam saja. Beberapa tak peduli. Beberapa menjajakan dagangan. Beberapa membeli. Beberapa menolak halus.
Hampir lepas landas masinis saat didengarnya suara panggilan dari belakang,
seorang laki-laki paruh baya, mengejar kereta terengah-engah.
Masinis memandang sinis. Kemudian tetap dijalankannya kereta tak dipedulikan suara lelaki itu.
Laki-laki itu mengumpat ringan.
Tak ada yang mendengar umpatan lelaki paruh baya. Untuk apa mendengar umpatan lelaki paruh baya?
Beberapa menit kemudian kereta terguling. Lalu untuk beberapa jam kemudian tak ada lagi kereta mondar-mandir di stasiun. Beberapa calon penumpang yang masuk mendapat penjelasan dari penjual tiket kemudian mereka keluar dengan raut wajah kecewa.
Tak ada yang mempedulikan tentang kereta. Tentang para penumpangnya. Tentang keselamatan orang-orang di sekitar rel. Terlebih lagi tak ada yang mempedulikan umpatan lelaki paruh baya. Untuk apa mendengar umpatan lelaki paruh baya?
Kamis, 31 Mei 2012
Dunia
dicintainya sebaik-baiknya Akasia tersebut dengan sebaik-baiknya suatu malam dapat mencintai sesuatu
tak dipedulikannya beberapa lelaki penjaring bintang diatas jembatan
tak diperhatikannya seorang lelaki berjalan kaki beberapa langkah dibawah lindungan awan hitam
awan hitam tak pernah mencinta laki-laki walau laki-laki cinta setengah mati pada suatu malam
Laki-laki yang berjalan kaki mencintai dunia ini.
"Kita hidup di dunia yang indah."
Selasa, 29 Mei 2012
Dari kita
pada saat-saat seperti itu, kamu tak perlu repot-repot menerjemahkan berada di garis manakah sampai titik ini berubah dari do menjadi la
lalu kita hanya harus menunggu sampai malam enggan muncul lagi dan pagi terpaksa hadir kembali
harapkanlah dalam hati kita dengan sesungguh-sungguhnya harap bahwa salah satu dari sekian banyak buku yang ada di sekitar kita, aroma listrik yang menggeliat di balik jendela, duri-duri kaktus serta beberapa ekor cumi dan ikan mengerti apa yang kita bicarakan beberapa jam lalu saat kita lupa caranya menari
Minggu, 20 Mei 2012
Saja
Ia hanya diam dan memandangi bibirmu lalu diam-diam berjanji untuk melakukan apapun apabila ada satu kalimat (saja) mengingkari kalimatmu sebelumnya
Ia hanya diam dan memandangi bibirmu lalu diam-diam berjanji untuk melakukan apapun apabila ada satu kata (saja) mengingkari kalimatmu sebelumnya
Akhirnya ia hanya diam dan memandangi bibirmu lalu diam-diam berjanji untuk melakukan apapun apabila ada satu huruf (saja) mengingkari kalimatmu sebelumnya
Kemudian ia buang mimpi-mimpi itu dan berlari memelukmu
Sedetik (saja)
Jumat, 18 Mei 2012
Kepada gunung
Tentang nyanyian rindu milik kerikil terhadap gerimis hujan saat fajar
Kerikil yang baik tidak akan marah saat ditendang oleh bocah kecil yang menari-nari riang saat pulang
namun kerikil akan tetap mengharap di suatu hari saat petir datang membelah batu, bukanlah ia yang terlepas dari gunung.
Dan kerikil semestinya tak perlu merasa sedih.
Bukankah angin, gunung, dan kerikil sebenarnya tak pernah punya rasa?
Kamis, 17 Mei 2012
Semalam
Karena itu, mohon maafkan ketika kamu membuka pintu aku langsung menamparmu
Sayang, aku pasti sudah lama tak menulis hingga tak tahu apa lagi yang harus kutulis.
Aku pasti sudah lama tak bercerita hingga tak tahu apa lagi yang harus kucerita.
Aku pasti sudah lama tak jatuh cinta hingga tak tahu apakah cinta benar-benar ada.
Maka semalam aku terbangun lagi di waktu kemarin dengan kau masih diam dan enggan terbangun.
Lalu kukatakan, lalu kau tolak, lalu aku terisak hingga tidur.
Kemudian aku bermimpi, lantas aku terbangun lagi di waktu kemarin dengan kau masih diam enggan terbangun.
Lalu kukatakan, lalu kau tolak, lalu aku terisak hingga tidur.
Lalu aku bangun.
Kemudian aku terisak
Senin, 14 Mei 2012
Salah satu dari kita
salah satu dari kita
salah satu dari kita
memancing keluar suara katak, mencuci bersih butiran-butiran beras yang menetes dari air mata seekor kura-kura kemarin.
Maka salah satu dari kita
salah satu dari kita
salah satu dari kita
menganggap berbicara dinding kamar adalah titik yang paling rendah kewarasan dan berhati-hati memilih kata saat berbicara dengannya.
Karena itu salah satu dari kita
salah satu dari kita
salah satu dari kita
akan terbangun tengah malam, duduk diatas kursi, menyeruput kopi, membuat puisi, lalu mengkatai seorang lagi sebagai orang gila.
Jatuh cinta kepada peri
maka itu, esok paginya dibakar seluruh buku-buku cerita dongengnya;
dilupakannya nyanyian-nyanyian ode pemuja sinar matahari;
dimuntahkannya impian-impian terbangun di ujung pelangi
siapa sangka ia hanya lelah setengah mati dan benci matahari?
Mei
Sampaikan salamku pada aroma timah terbakar solder di udara
Udara pukul setengah tiga pagi yang menghantam kaki
Rabu, 25 April 2012
Malam yang baik
Kamu terlalu berlebihan: Siapa yang dapat tertidur saat bulan bersinar seindah ini?
Belum cukup mengindahkan apa yang ada, kau buat bintang bersinar pelan-pelan.
Lalu lampu kedap-kedip dari pesawat berjalan. Siapa yang akan suka tertidur pada malam seperti ini?
Minggu, 22 April 2012
Anda jelas-jelas berbohong
Sembilan Inchi
Sabtu, 21 April 2012
Suatu pagi sampai sore harinya
deringan telepon
suara letupan pesan
dentingan pelan surat
bel pintu yang ditekan
Rabu, 11 April 2012
Kamis, 05 April 2012
Kalau Anda Perhatikan Baik-Baik Ada Dua Cerita dalam Puisi Ini
Minggu, 01 April 2012
Sonet: Dempo
Dan angin yang budiman akan menyingkir dari jalan sehingga tak menerbangkan debu-debu ke beranda
Sedangkan anak panah yang baik akan tertancap tepat di tengah dan menimbulkan suara girang dari mulut ayahmu
Ia merindukan k(erajaannya)amarnya
Ia merindukan asap di berandanya
Ia merindukan orang gila yang tinggal di lantai satu dekat tempat tinggalnya
Siapa sangka beberapa bulan membuatnya sejauh ini. Beberapa kilometer membuatnya setua ini. Beberapa senti membuatnya selelah ini. Beberapa hati membuatnya sem(enakjubkan)enyedihkan ini
Beberapa kilometer dari gedung parlemen
Daripada turun ke jalan lalu berteriak riuh rendah pada kembang api
atau berlari-lari liar menghindari kejaran polisi
Selasa, 27 Maret 2012
Sebagian diri kita
Rabu, 21 Maret 2012
Minggu, 18 Maret 2012
Empat puluh menjadi empat
Tak sempat kau kirimkan kabar pada beberapa orang yang sudah tinggal segelintir saja
Masihkah kau ingat saat kita saling bertukar suara lewat udara?
Atau malam-malam yang habis didepan pintu menunggu suaramu mengetuk riuh rendah pintu kamarku
Malam-malah yang habis saat membangunkan, dan membuat kita saling berharap
Mungkin itu adalah kondisi sebaik-baiknya kita dalam seburuk-buruknya kita
Tak sempat kukatakan tentang puisi-puisi pertamaku yang kubuat hanya untukmu
Tentang rembulan sama yang mengintip dibalik langit ribuan kilo kita
(Rembulan yang sama) yang diam-diam hadir di nama kita (dan kita sembunyikan baik-baik)
Lalu kita simpan baik-baik dalam hati saat kita bicara seorang diri namun saling mendengarkan suara sama lain
Tak sempat hadir mimpi ke dunia nyata, berakhir pula empat puluh pada empat.
Empat puluh pada empat
Dan kau masih berhutang dengan hutang yang takkan pernah bisa kau bayar padaku:
Duduk, lalu bercerita secara sederhana
Hey aku selalu berharap yang terbaik untukmu!
Rabu, 07 Maret 2012
Lebih baik, lebih baik, lebih baik
Siapa sangka?
Kamis, 01 Maret 2012
Jumat
"Aku memutar waktu!"
Lalu sampailah ia pada waktu kemarin yang beberapa ribu tahun lalu.
Saat gajah ungu terbang keluar dari danau dan kelelawar-kelelawar hijau keluar dari atap.
Bertemu ia dengan kelinci ramah dari bulan yang menawarinya rokok
Ali menolak sopan lantas berkata,
"Maaf tuan, ayahku melarangku merokok."
Kelinci tersenyum lantas berkata,
"Ayahmu melarangmu rokok dari bumi. Tapi pernahkah ia melarang rokok dari bulan?"
Ali bingung lantas dihisapnya rokok itu. Kabut-kabut putih keluar dari mulutnya, diam di udara lalu hinggap ditangannya lantas hilang entah kemana
Teman-temannya berteriak dari esok yang beberapa tahun kemudian:
"Ali! Akan kami selamatkan engkau dari cahaya!"
Terlambat, Ali menjelma menjadi cahaya. Atau Cahaya menjelma jadi Ali. Lalu mereka berdua hilang begitu saja saat lampu taman dimatikan
Petang
ujarmu. Menurutku.
Mungkin kamu tak pernah mengatakannya dan aku hanya membayangkannya, aku lupa
Tapi apa bedanya saat kau dapat selalu melihat setan saat bercermin?
Selasa, 14 Februari 2012
Pada setiap malam
Sayangnya aku akan selalu perlu untuk mati setiap malam
Sebuah pintu yang terkunci dan pena di tangan. aku benar-benar tak bisa membayangkan untuk meminta apa lagi
Selasa, 24 Januari 2012
Gigi
Namun terlalu lama bersembunyi membuatnya muak sehingga diputuskannya untuk melompat keluar dari rahang
Siapa sangka bahwa ia merindukan tertancap dibawah gusi-gusi dan bercengkrama dengan gigi-gigimu yang lain
(Ia tak peduli)
Ia merindukanmu tapi harus bagaimanakah ia mengatakannya
Bahkan saat nanti kau benar-benar bertanya aku tahu ia hanya akan berdusta:
"Aku memang harus pergi agar gigi baru yang lebih kuat dapat hadir untukmu."
Selasa, 10 Januari 2012
Menangkap gerimis hujan
"Kami tak berdoa dengan menengadahkan tangan," ujarmu.
"Aku tak peduli, aku tak pernah berdoa," tak kukatakan. Tak pernah kukatakan
Kau menunggu balasku lantas berkata, "Aku tak sedang berbicara sendiri, aku berbicara denganmu."
Aku diam tak peduli, lantas berkata: "Aku tak peduli, aku tak pernah peduli," tak kukatakan. Tak pernah kukatakan
Lalu kita pulang sendiri-sendiri
Kau mengait jemarimu lantas berdoa
Aku menengadahkan tangan (menangkap gerimis hujan)
Senin, 09 Januari 2012
Hiperbolik
"Dunia ini hiporbolik, Sayang." ujarmu
Aku mengangguk. Dunia ini hiperbolik. Sistem yang berkuasa. Orang-orang berujar yang berkuasa ada dan selalu hidup diatas kepala kita. Kepala macam apa yang tak pernah melihat ke jempol kaki saat ia menginjak paku?
Dunia ini hiperbolik, Sayang.
Kita membicarakannya lewat udara menyedihkan memang, tapi bagaimana kita bisa membicarakannya saja sudah merupakan kita dalam terbaiknya kita. Kita bukan koma atau titik, rangkaian nada atau not balok, garis-garis nada pun bukan.
Sebagian dari kita (dulu) pernah berujar: "Selamat datang di Surga bagi kalian yang tergantung diatas tali atau mati saat melahirkan anak."
Sebagian dari kita (dulu sampai sekarang) juga pernah berujar: "Selamat datang di Neraka bagi kalian yang tergantung diatas tali."
Sebagian dari kita lagi (sekarang dan mungkin juga dulu) juga berujar: "Selamat datang. Kita tak ada dimana-mana. Kita tak pernah kemana-mana. Kita bukan dimana, kita bukan siapa, kita bukan apa. Kita tak pernah ada."
Dunia ini hiperbolik, Sayang. Sungguh hiperbolik.
Sebagian berdoa lantas mati kelaparan. Sebagian tak berdoa hidup dengan perut tak pernah kosong. Sebagian berdoa lantas mendapat makanan. Sebagian tak berdoa lalu hidup dalam penuh kemalangan.
Dunia ini hiperbolik, Sayang. Beberapa dari kita tahu itu.
Kita tak pernah benar-benar tahu tentang kita tapi kemudian salah tingkah saat kenyataan disodorkan kedepan kita
Sebagian bernyanyi. Sebagian lagi (seperti aku) menulis puisi di malam hari. Sebagian lagi hanya merasa bahwa ia pernah menulis puisi macam ini dan kemudian menuduhku memplagiat pikiran mereka
Tapi ya itu tadi sayang. Dunia ini Hiperbolik
Minggu, 08 Januari 2012
Jatuh cinta di gerbong kereta
Karena kita akan begini sayang, dan selamanya akan begini
Satu orang di gerbong dan yang lain berjongkok di atas atap menghindari kabel-kabel listrik
Lalu kita akan jatuh cinta. Betul sayang, kita akan saling jatuh cinta
Aku cinta kau dengan payung biru yang kau genggam, dan kau yang akan cinta aku sembunyi-sembunyi menyaksikanku bergulat dengan angin kereta
Jelas kita kan kembali sayang. Kita kan kembali
Maksudku, sampai saat ini kereta adalah sarana paling cepat bagi kita untuk saling pergi entah kemana