Selasa, 21 Agustus 2012

Selembar kertas

Aku tak tahu apa itu kematian, tapi aku ingin tahu. Mungkin juga tidak. Mungkin aku hanya butuh alasan lalu kemudian akan aku bantah habis-habisan alasan-alasan tersebut.

Aku mungkin merindukan tentang kemarin. Anak yang sama di foto itu kini menarikan jemari lincah diatas tuts-tuts kata. Ia merindukan bundanya. Ia merindukan malam-malam yang dihabiskan oleh bundanya mcenasihatinya dan ia tak mengacuhkannya. Ia sekedar merindukan senyumannya, suaranya. Ia ingin suaranya dihina jelek kemudian mereka tertawa bersama karena suara mereka sama jeleknya.

Ia merindukan malam yang sempat habis saat ia mengatakan bahwa ia menyayangi ibunya. Ia menyesal tidak diulanginya kata-kata itu sejuta kali setiap malam. Ia rindu dengan wajah gembira ibunya yang masih terekam erat. Ia merindukan suara ibunya yang masih menempel di telinga. Ia rinu dengan aroma ibunya yang tak pernah hilang dari lubang hidung.

Ia benci kematian. Untuk apa mencintai seluruh ciptaan Tuhan? Ia harus ada, lelaki itu setuju. Namun bukan lantas berarti ia harus mencintainya juga kan?

Ia merasa sendiri. Ia hidup di kubunya sendiri dimana ia meringkuk di sudutnya sementara seluruh orang di dunia berada di sudut lain. Ia mrindukan ibunya yang selalu ada di sampingnya. Yang sebenci-bencinya wanita itu terhadap pemudia itu betapa ia lebih mencintainya.

Pemuda itu heran mengapa bisa ada manusia membiarkan ada makhluk hidup di perutnya selama 9 bulan, menydot darahnya, lalu dikeluarkan namun tetap dicintai setengah mati. Ia heran kenapa ada manusia memberikan cinta yang tak habis-habis, cinta yang tak akan pernah (dan tak pernah diharapkan) untuk dibalas.

Andaikan ia bisa mengulang waktu ia tak ingin apa-apa. Sungguh iatak ingin apa-apa. Ia ingin menemui ibunya dibawah tangga setiap hari lalu menciumnya dan mengatakan bahwa ia mencintainya. Ia mencintainya. Ia mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar