Sabtu, 22 Desember 2012

Pada awal, tengah, dan akhir puisi ini. Dan pada tengah malamnya.

"Ya Tuhan, sudah pukul berapa siang ini?" Ujarnya tengah malam semalam.

Ia masih tak ingat atas beberapa mimpi yang hinggap ke pikirannya semalam, pun juga tentang rasa kantuk yang sempat mendekapnya untuk terlelap.

Ia teringat saat terlahir beberapa puluh tahun, mungkin karena itu ia muak tak pernah ingat mimpinya semalam.

Ia lebih muak lagi tak bisa ingat waktu. Sudah beberapa tahun matanya buta tapi tak pintar-pintar juga ia membedakan rasa matahari atau bulan di sekujur tubuhnya.

Ia tak terpikir untuk mencerabut gendang telinganya. Tidak, sungguh tidak. Ia mengusap ginjalnya lalu dalam hati merasa bersyukur bahwa ia dapat kencing dengan tenang setiap pagi saat terbangun.

Lalu semalam, ya semalam. Seperti pada awal puisi ini diceritakan, ia mendesis pelan:
"Ya Tuhan, sudah pukul berapa siang ini?"

Ia tak hendak bertanya pada Tuhan. Puluhan tahun ia bertanya pada Tuhan setelah terlahir, Tuhan tak pernah memperdengarkan suara-Nya di telinganya.

Ia iri pada Musa. Tentang betapa terhormatnya ia bisa berbicara dengan Tuhan nya lewat rerumputan yang terbakar.

Ia pernah mencoba membakar rumput untuk berbicara dengan Tuhan. Namun saat ganjanya dihisap dan mengalir di aliran darahnya, tak ditemukan Tuhan dimana-mana. Ia menemukan dirinya. Dan telinga kirinya berbicara pelan di hadapannya.

Ia tak habis pikir dengan masalah Tuhan, pikirannya terlanjur habis. Hanya malam-malam yang ia habiskan mendengar lagu dan asap yang hilang di paru paru. Tinggal menjadi racun.

Lalu seperti pada awal dan pertengahan puisi ini, ia berkata pelan. Mendesis. Sambil terkaget-kaget,
"Ya Tuhan, sudah pukul berapa siang ini?"

Ia tak tahu waktu. Pikirannya ia rasa pada hari ini namun impiannya tertinggal kemarin. Tuhan ia raba pada urat lehernya, ia berandai-andai manakah tempat yang lebih dekat dari itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar