Tuanku yang baik, aku harus pulang sekarang.
Tak pernah dikatakannya. Setengah mati ia rindu dengan pohon jambu yang ketika berbuah ia panjat sampai atas lalu berkelahi dengan tupai sambil tertawa-tawa.
Rindu pula ia dengan angin yang hinggap di bahu kanannya membawa aroma sungai dari ujung desa di balik bukit.
Ia rindu akan mimpi-mimpinya yang dititipkan di akar pepohonan jati saat masih ia dan pohon-pohon itu masih kecil dan sama tingginya.
Lalu saat beberapa puluh tahun kemudian ia datang ke desanya, ia terkejut setengah mati saat kembali ke pepohonan jati.
Ia menangis dalam hati. Benar, ia menangis. Ia berteriak keras,
"Sudah tersampai impianmu jadi pepohonan menusuk langit. Kini aku, masih saja aku. Berkeliaran di akar-akar pepohonan, berkelahi dengan tikus-tikus hutan untuk sekerat daging."
Pepohonan itu diam. Ingin disuarakannya, namun apa daya bukankah pepohonan selama ini tak pernah bisa berbicara?
Ia kemudian diam. Pepohonan diam. Hanya ada tangisannya diam-diam bergema disekujur pepohonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar