Minggu, 23 November 2014

Cerita yang baik

Bagaimana cerita yang baik bisa berhenti?
Mungkin jalanan memang tak pernah indah tapi kita selalu bisa melihat sekeliling kita. Bergandengan tangan bersama berharap lubang dan selokan serupa taman dan lampu jalan.

Kalau kamu harus pulang mungkin aku juga harus pulang. Kita tidak pernah terlalu muda atau terlalu tua. Kita tak pernah terlalu terlambat atau cepat. Tapi mungkin kita terkadang lupa. Aku tak tahu.

Aku ingin meminta maaf ketika melihat wajahmu esok hari. Maaf aku harus pergi, ujarmu.
Aku terdiam. Bukankah aku yang harus kemana-mana?

Maaf sayang, kamu tak perlu pergi. Aku bisa menggantikanmu mendongeng pada anak-anak perempuanmu. Tapi sekali-sekali kamu perlu menemui anak lelakimu. Kamu sesekali perlu menemuiku.

Sekarang pukul setengah tiga sore. Lampu jalan belum juga menyala. Pulang selalu ada di pikiranmu jadi aku tak habis pikir kenapa pula kamu duduk di meja sembari menangis. Kamu kekasihku yang baik. Kekasihku yang baik. Kekasihku yang...

Baik, cerita mungkin harus usai. Telingamu masih bisa mendengar kan, Sayang? Maka aku undang kamu ke rumahku sebaik-baiknya rumah. Seratus meter persegi, tenda dan meja makan. Perlu apa lagi kita untuk hidup?

Kalau memang aku tak merubah apa-apa, anak-anakmu tak merubah apa-apa, maka setidaknya izinkan kami menjadi foto yang selalu tersenyum di dalam dompet yang selalu tersembunyi di saku celanamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar