Aku tak pernah mengerti kenapa kamu masih pula berdusta bahkan ketika kamu sudah tahu bahwa aku tahu kalau kamu berdusta.
Kamu selalu berkata,
"Kita akan baik-baik saja. Sungguh, Sayang. "
Dan kini? Lihat kita sekarang. Aku tak pernah berkata aku adalah orang yang baik. Aku yang baik hanya ada di kepalamu. Aku yang ada di kepala semua orang selainmu adalah aku yang buruk.
Ujarku suatu waktu.
Tapi kamu menggeleng.
"Kamu adalah kamu yang baik. Kamu tahu itu. "
Dan aku tak tahu apakah kamu berdusta atau tidak saat itu karena aku tak pernah yakin aku menilai diriku apa di dalam kepalamu itu.
"Kita akan baik-baik saja. Apakah kamu percaya padaku?"
Dan aku menggeleng. Gelengan jujur pertamaku semenjak ribuan kali kamu ulang pernyataan itu yang selalu kubalas dengan anggukan.
"Kita tak bisa begini selamanya. Kamu harus kembali dan aku harus pergi. Kenapa pula kamu menyodorkan tanganmu malam itu?"
Kamu melihat ke matahari senja saat itu. Aku bersumpah melihatmu menangis tapi aku pura-pura tak melihat.
"Katakan, " tanyamu." Tanya pada hatimu. Apakah aku benar-benar melakukan hal yang salah? "
Aku berpaling menunjukkan punggungku padamu. Kutahan sekeras mungkin keinginanku untuk menangis.
"Ya, tindakanmu salah. Lebih baik kamu pergi."
Lalu begitu saja kamu pergi. Tak ada tangisan, tak ada permohonan, tak ada apa pun.
Yang tersisa hanyalah rasa sesal bahwa kata-kata yang terakhir kuberikan padamu adalah dusta.
|
Minggu, 02 Agustus 2015
Dusta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar