Saat aku membuka pintu malam itu, seharusnya kamu yang berkata, "Maafkan aku," bukannya aku.
Kamu mengalihkan pandangan ke beberapa pot kosong yang dulu pernah berisi bakung yang kau taruh di beranda sebelum kamu pergi. Aku ingat benar-benar kata-katamu sore itu,
"Aku harus pergi. Tolong jaga bunga bakung di beranda kita."
Begitu saja. Tak ada permintaan maaf, tak ada penjelasan kamu pergi kemana, berapa lama sampai kamu kembali, berapa kali sehari bunga bakung harus disirami, pupuk mana yang harus kuberikan, hama apa yang harus kuwaspadai, semuanya.
Jadi ketika lewat tiga tahun sejak kamu pergi akhirnya bunga-bunga itu mati aku habiskan beberapa malam dalam tangisan. Aku ingat suara dan pesanmu tapi samar-samar wajahmu mulai hilang dari ingatanku.
Lalu tepat sebulan dari matinya bunga-bunga itu kamu kemudian mengetuk rumah perlahan. Dan ketika kubuka pintu semua kenangan tentangmu mengalir deras. Dan hal pertama yang kuingat adalah pesan terakhirmu untukku supaya menjaga bunga bakung itu.
Jadi aku tak sempat berpikir betapa kurang ajarnya kamu yang seenaknya saja pulang dan pergi begitu saja. Tentang air mata yang habis pada malam-malam saat kumerindukanmu. Tentang cuaca yang tak ramah lagi pada bunga bakung. Semuanya.
"Maafkan, bunga bakung yang kamu titipkan padaku sudah mati semua." ujarku.
Lalu aku menangis kencang-kencang di pelukanmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar