Selasa, 20 September 2016

Puisi tentang kilometer, jarak, dan segala yang ada disekitarnya

Kamu tidak perlu menjadi satu untuk mampu berhitung sampai lima ratus tiga puluh satu. Selalu ada yang tidak berkeberatan menjadi ratusan puluhan dan satuan. Kamu dan aku tidak pernah masalah kalau kita menjadi nol.

Jadi apakah kamu masih takut pada gelap di siang hari dan terang di malam hari? Masih kah kamu melakukan tindakan magis diatas meja makan.

"Semalam aku bercumbu dengan gadis bisu melalui bahasa isyarat."
ceritaku bangga.

Kamu hanya tertawa dan menanyakan tentang bagaimana kabar cuaca di Jakarta dan segala tetek bengeknya.

Aku hanya menggeleng. Jakarta akan selalu seperti itu, kota ini hanya indah pada tengah malam jika kamu mencintai kota semacam yang kamu bayangkan.

Tapi kamu selalu ada dimana-mana. Benar-benar dimana-mana:
di ujung Piramida
di balik tembok Alamo
ujung kereta gantung namsan
di
pi
ki
ran
ku.

Agak aneh membayangkan kamu ada dimana-mana padahal kamu tak pernah pergi dari mana-mana,

"Telah kutitipkan sebagian dari diriku di bola matamu malam itu. Kemudian kamu besarkan dengan baik di tenggorokan lalu saat ia menjadi darah, ia akan tiba di hatimu dan takkan pergi kemana-mana lagi."

Aku hanya mengangguk-angguk. Mungkin karena angin, mungkin karena ucapanmu yang semakin lama semakin mencoba dimengerti malah semakin sulit itu dipahami.

"Jadi bagaima kabar.."

"Jakarta?" ujarku memutus cepat.

Kamu menggeleng. Kamu tersenyum lalu berkata:

"...ku."

Aku tertawa. Mana mungkin kamu menanyakan kabarmu padaku padahal kita sudah sekian lama tak bertemu. Aku melirik jam, pukul 12 tengah malam.

"Mungkin kita harus di Jalan saat ini."

Kamu menggangguk pada anggukanku. Kita di Jakarta. Pukul 12 tengah malam dan berhenti di bahu jalan kilometer satu saat tangismu pecah sekeras-kerasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar