Kamis, 29 Agustus 2024
Anjing-anjing Jimbaran
Minggu, 25 Agustus 2024
Keputusan m(u/k)
aku titipkan impian-impianku tentang negeri ini kepada bocah-bocah ingusan kemarin sore yang saat ini sedang berteriak-teriak di depan gedung dengan tiket masuk termahal di negeri ini.
aku lebih memilih kembali tidur, lalu terbangun membaca berita esok hari dan membicarakan tentang betapa brengseknya aparatur negara di sela-sela waktu makan siangku.
Sungguh
menatap langit bertabur bintang malam ini membuatnya berpikir ada kemungkinan walau kecil saja bahwa ia menatap satu bintang yang sama yang kamu pandang hari ini walau mungkin kemungkinan itu bisa saja menjadi nol karena kamu tak melihat bintang malam ini namun toh ia senang yang membayangkan yang romantis-romantis seperti itu daripada membayangkan andaikan kalian bertemu dan tak ada lagi sapaan atau kalimat lembut mesra darimu keluar. betul. sungguh
maksudnya begini, alternatif lainnya adalah ia akan kembali ke dalam kamarnya setelah menyalakan dupa dan berdoa kepada dewa-dewa yang menyayat hati dan tulang berharap bahwa masih ada kemungkinan walaupun kecil untuk kalian akan tetap bersama lebih lama walau hanya sehari saja.
diantara dua pilihan itu, bukankah pilihan pertama lebih menarik? betul. sungguh.
seharusnya ada sesuatu
sedikit lebih tidak indah
jika ada dirinya lain yang mirip dengan dirinya tapi bukan dirinya, ia yakin dengan sepenuhnya bahwa dirinya ini akan jatuh cinta padamu seluruhnya meninggalkan segala dan mengajakmu pulang bersama menuju cerita yang lebih indah.
tapi hanya ada dirinya kan saat ini? jadi ia tak bisa jatuh cinta padamu seluruhnya. jangankan seluruhnya, sebagian kecilnya pun tak bisa.
ia memilih hadir di kedai terdekat, menegak tuak, lalu mengajakmu pergi lima menit saja membuat cerita yang sedikit lebih tidak indah.
butir demi butir
entah, aku juga baru hidup satu kali ini.
gerbang antara ingatan dan kenyataan lama kelamaan menjadi kabur juga.
andaikan kukatakan bahwa tak pernah kucoba sulam hatiku dengan hatimu, siapa juga yang percaya?
ah tapi masih kuingat dengan jelas butir demi butir kerikil yang mobilku lindas malam itu diperjalanan pulang setelah aku mengantarmu ke rumahmu.
dan mengapa
mungkin malam memelukmu lebih erat, jadi kurelakan kamu direnggut kabut itu tadi malam
aku pergi pulang, serenade dimulai di kepalaku tentang apa, hampir apa, dan mengapa.
dan mengapa yang tak pernah habis terbentang serupa pembatas jalan saat aku berjalan pulang.
Cuaca Duri hari ini
Duri mungkin tak akan pernah masuk tajuk berita di dalam siaran televisi yang kamu tonton malam ini di Jakarta. Tapi aku masih disini, kan?
dan cuaca Duri, percaya atau tidak, lebih dingin sejak kamu tak ada disisiku.
sapu tanganmu
dan kini sudah pukul setengah sebelas malam, aku masih duduk sendiri menunggumu di dalam restoran seorang diri
kutinggalkan pesan untukmu di telepon genggammu:
"Bagaimana dengan sapu tanganmu? kusimpan sebaik-baiknya di dalam laci meja kerjaku."
tak terbalas.
tak pernah kukirim