Sabtu, 06 Maret 2010

Diujung

Ia tak suka berbicara tentang rambutnya yang acak-acakkan Atau tentang matanya yang berbinar lalu bergetar atau tentang sepasang kakinya yang terkadang gemetar Ia tak juga ingin bercerita tentang cinta yang terbakar semalam Atau tentang rindu yang mengendap bertahun-tahun atau tentang betapa ia setengah mati berharap mendengar namamu Ia kembali berpikir tentangmu, dan semua mendadak tak penting lagi Dari balik tawa renyahmu, ia bersembunyi kemudian menikmatinya sendiri takkan diserahkannya pada angin; ia hanya ingin tawamu jadi milikmu (dan miliknya, entah -Nya) Dan lalu sepi menghajar tiba-tiba, kau tak peduli dan hanya ada ia yang tersenyum sendiri Dihadapannya maut terbentang berkilo-kilo entah meter, entah gram Ia hanya tersenyum; ia pasrah bahwa ia benar-benar kalah (walau tak pernah sekalipun menang) Lalu kabut datang, nyawanya tertarik diam-diam Dan ia menikmati gemerentak tulangnya yang terakhir kali "Tak pernah yang menjajikan bahwa kau takkan mati bukan?", ujar suara dari pikirannya Ia ingin tersenyum namun gagal, perih membius dirinya dengan rasa sakit tak tertahankan Lantas ia berpikir, "Sebenarnya tak seburuk itu jika saja Kau dan kau masih sudi datang menghampiri..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar