"Suatu hari akan ada seseorang yang mencintaimu, dan ia menyedihkan", ujarmu.
***
Ah, siapa pula yang membutuhkan sesuatu yang berlebih? Maksudku begini: apakah kita memang selalu membutuhkan apa yang lebih dari kebutuhan kita? Kujelaskan secara sederhana. Sepasang kaki dan tangan cukup tapi bagaimana dengan seribu kaki dan seribu tangan? Kita ini menyedihkan, semua manusia. Kau, aku, kita, mereka, kalian, semua. Lalu apa yang menyedihkan membutuhkan lebih dari yang menyedihkan?
Disembunyikan baik-baik segala kelemahan kita dan berpura-pura bahwa kita kuat lantas kemudian kita berharap dalam hati bahwa kita akan lupa bahwa kita lemah dan benar-benar merasa kuat. Tapi menyembunyikan kelemahan sejak awal sudah merupakan kelemahan sendiri menurutku, lantas apa yang harus diubah? Aku tak tahu. Menjadi orang lain itu mudah, semua orang bisa melakukannya, menjadi diri sendirilah yang sulit karena tak ada yang tahu diri kita sendiri selain diri kita.
Dan ada kepingan hati yang hilang disini. Sekuat-kuatnya kau mencari tak pernah kau temukan dimana. Kau menduga mungkin ia terjatuh saat kau bermain dengan teman-teman masa kecilmu dulu. Waktu dimana hari ini hanyalah hari ini, dan kemarin adalah hari ini yang datang sehari lebih cepat sedangkan esok adalah hari ini yang belum datang. Tak ada yang perlu dirisaukan, masalah ada di pagi hari dan ia sudah hilang saat sore kau bermain dengan teman-temanmu.
Tapi bukan itu, ada benar-benar yang hilang. Sampai akhirnya kau menemukan konsep tentang cinta. Cinta, permainan baru lagi kah? pikirmu. Tak ada yang tahu jawabannya, sungguh tak ada yang tahu. Pertanyaan sederhana buah pikiran anak kecil itu bahkan tak juga akan kau temukan jawabnya dari manusia tua berusia ribuan tahun. Cinta itu masalah perasaan, begitu dugamu awalnya. Tapi kau tak yakin dan kemudian saat kau mencari pembenaran yang kau temukan malah bahwa pemikiranmu salah. Dan bukankah menyedihkan bahwa pemikiranmu disalahkan oleh dirimu sendiri?
Kau akhirnya membuang tentang segala konsep dan membiarkan semua berjalan apa adanya. Dan tak ada masalah selama ini. Ya setidaknya sampai selama ini. Tapi ada yang salah di cinta namun kau tak tahu dimana kesalahannya. Kau akhirnya berpikir bahwa darimana datangnya cinta. Cinta itu milikmu sendiri atau milik Tuhan? Apabila ia milik Tuhan, bukankah berarti cintamu itu adalah peminjaman dari-Nya? Dan bisa sekuat apakah cinta pinjaman itu?
Kau menggeleng tak jelas. Entah tak peduli, entah tak ingin memperbaiki, entah. Kau menolak keberadaan cinta pinjaman tapi sadar bahwa dirimu ya hanya dirimu. Kau akhirnya diam-diam menyetujui bahwa cinta itu baru ada saat kamu lahir. Dan saat kau ingin berkata tapi, tapi berkata tapi terlebih dahulu. Kau muak terhadap tapi lantas kemudian terhadap cinta. Entah kenapa kau benci terhadap cinta walau ia bernama cinta.
Bukankah jika sedari awal cinta bernama benci ia akan menjadi 'benci' ? Kau memutar kata-kata, berharap akan lepas dari jebakan makna. Ah, kau muak terhadap pikiranmu rupanya. Tak mengapa kau tak sendiri, aku juga begitu. Maaf tapi aku adalah kau, jadi kau saat ini sendiri. Tak mengapa, kau bisa berpikir bahwa kau bukanlah aku dan kemudian kita akan menjadi berdua walau tetap sendiri. Paradoks? Mungkin, tapi siapa yang peduli? Tak ada yang peduli. Kalau kau tak peduli, maka seluruh dunia takkan peduli karena selama ini dunia berputar dengan cara seperti itu.
Kemudian kau kembali pada pikiran awal. Menyedihkan? Tak mengapa lah, aku sendiri menyedihkan. Apakah kita mau memiliki sesuatu diluar kebutuhan kita? Tentu saja! Tapi apa kita butuh? Entahlah. Kadang iya, kadang tidak. Tak ada yang tahu karena pada akhirnya kita tak pernah dapat lebih dari yang kau butuh. Kau bercanda? Mungkin, tapi aku berkata jujur.
***
"Tak mengapa, tapi kuharap orang menyedihkan itu kamu." ujarku
Rabu, 31 Maret 2010
Sabtu, 27 Maret 2010
Sabda
"Dan tentang kematian?" tanyaku
"Hal itu justru yang paling tidak menakutkan" jawab entah siapa
Mungkin aku mencoba menghibur diri entah mengapa
Jumat, 26 Maret 2010
Semesta
Ada yang mengetuk pintu perlahan tapi kau enggan membukakan
"Ah, mungkin itu kematian lagi yang datang kali ini.", ujarmu
Kemudian ketukannya bertambah kencang, kau dan aku tercekat berdua berhadapan diatas meja
"Hanya ketukan lain, haruskah kita pergi?", tanyamu
Kemudian ketukan berubah menjadi gedoran
Tak ada yang berani memecah sunyi diantara kita
"Ayo kita lari!" ajakku
"Kemana?" tanyamu
"Semesta!"
Selasa, 23 Maret 2010
Janji
Di sela malam tiba-tiba kau datang tersenyum
Kau ulurkan tanganmu sembari berkata,
"Ikutlah denganku, tapi takkan kujanjikan apa-apa
surga tidak, bahagia tidak, bahkan sekedar cinta pun tidak"
Dan entah karena senyumanmu atau kehangatan yang terpancar dari telapak tanganmu itu kuterima mereka tanpa ragu-ragu
Senin, 22 Maret 2010
Sepatu putih
Sepatu putih yang ada dalam otakmu membuatmu membisu
Tentang lagu-lagu jaman dulu yang berputar sendu
Ah kau takkan pernah mengerti, bukan begitu?
Senin, 15 Maret 2010
Mimpi
Aku lelah dengan harapan yang kau bisikkan berulang
Menjadi manusia itu mudah kukira, tapi kau bersikeras bahwa itu susah
Aku hanya butuh segelas kopi, angin dan matamu yang menyala
Kemudian aku tersadar bahwa aku terlalu lelah
Lalu aku akan tertidur
pulas
Dalam sela-sela mimpi kuharap kau akan tiba
Telah berhenti berbicara tentang harapan dan tersenyum lebar
Kunantikan dalam mimpiku itu kau berkata berbinar-binar:
"Ah siapa yang butuh harapan! Kita hidup di mimpi saat ini!"
Lantas aku terbangun kemudian menyesal bahwa mimpi hanya mimpi
Tapi kemudian bersyukur bahwa kau masih bersedia menemani
Hanya itu saja
Tiba-tiba malam tiba
Kau tak sadar berada dimana, hanya tersenyum terisak mengiba
Yang kau rasakan hanya kaki yang menapak dan mata yang sembab
Sudah, hanya itu saja
Kau tak rasakan luka-luka yang menganga
Atau tentang perih dan putusnya harapan yang terbang entah kemana
Kau hanya ingat kakimu dan matamu yang sembab
Sungguh, hanya itu saja
Tak juga tentang mayat-mayat yang berceceran
Atau suara raungan yang walau perlahan tapi menggetarkan
Kau hanya ingat kakimu dan matamu yang sembab
Sayangnya, hanya itu saja
Lalu akhirnya kau sadar ini waktu terakkhirmu
Kau terduduk; kakimu sudah tak kuat menopang apa-apa
Kakimu lemas, matamu tertutup; kemudian kamu mati
Ya, hanya itu saja
Kau mati
Hanya itu saja
Minggu, 14 Maret 2010
Lalu
Hanya karena api lantas kau bakar segala
Lalu kau salahkan kah matahari karena menggurunkan samudra?
Atau gunung berapi yang mematikan apa yang ada di seluruh pandangan mata?
Hanya karena air lantas kau terjang segala
Lalu kau salahkan kah bulan menaikkan semua air yang ada?
Atau tanah yang melongsorkan seluruh pelosok desa (walau tak pernah ada di peta)?
Minggu, 07 Maret 2010
Esok tak pernah ada
Di jemarimu bahkan perih tak mampu bergetar
Kau susuri deretan hitam-hitam di kalender, kemudian tersenyum saat menyentuh merah
"Hei, besok tak pernah ada! Hanya ada hari ini, dan kemarin!", ujarmu tiba-tiba
Aku hanya tertegun tak percaya, kemudian bertanya:
"Ah, kau sedang berdusta!"
Kau kemudian merengut, menjawab
"Mana yang lebih kau percaya: Kalender itu atau aku?"
Lalu aku diam, menimbang-nimbang
"Tentu saja kamu...seluruh hatiku percaya padamu. Tapi..."
Lalu matamu berbinar terang penuh tanya,
"Tapi apa?"
Aku tak tahu,
"Aku tak tahu"
Sabtu, 06 Maret 2010
Diujung
Ia tak suka berbicara tentang rambutnya yang acak-acakkan
Atau tentang matanya yang berbinar lalu bergetar
atau tentang sepasang kakinya yang terkadang gemetar
Ia tak juga ingin bercerita tentang cinta yang terbakar semalam
Atau tentang rindu yang mengendap bertahun-tahun
atau tentang betapa ia setengah mati berharap mendengar namamu
Ia kembali berpikir tentangmu, dan semua mendadak tak penting lagi
Dari balik tawa renyahmu, ia bersembunyi kemudian menikmatinya sendiri
takkan diserahkannya pada angin; ia hanya ingin tawamu jadi milikmu (dan miliknya, entah -Nya)
Dan lalu sepi menghajar tiba-tiba, kau tak peduli dan hanya ada ia yang tersenyum sendiri
Dihadapannya maut terbentang berkilo-kilo
entah meter, entah gram
Ia hanya tersenyum; ia pasrah bahwa ia benar-benar kalah (walau tak pernah sekalipun menang)
Lalu kabut datang, nyawanya tertarik diam-diam
Dan ia menikmati gemerentak tulangnya yang terakhir kali
"Tak pernah yang menjajikan bahwa kau takkan mati bukan?", ujar suara dari pikirannya
Ia ingin tersenyum namun gagal, perih membius dirinya dengan rasa sakit tak tertahankan
Lantas ia berpikir,
"Sebenarnya tak seburuk itu jika saja Kau dan kau masih sudi datang menghampiri..."
Jumat, 05 Maret 2010
Terlalu baik
Membencimu; aku tak pernah
Mencintaimu; aku selalu
Tapi berpura-pura tidak mencintaimu; ah aku terlalu baik dalam hal itu
Tak ada yang memaksamu
Tak ada yang memaksamu meneguk racun kemudian menghembus nafas
Sama seperti tak ada yang memaksamu membungkuk atau membusung bangga
Pada akhirnya kau sendiri yang memutuskan, bukan orang lain
Jatuh terhuyung, lompat terhempas, atau terbang tinggi melayang
Langganan:
Postingan (Atom)