Kamis, 03 November 2016

Terlalu lama

Kamu terlalu lama duduk di gedung tinggi, terlena dengan hembusan dingin pendingin ruangan dan kursi empuk super ergonomik. 

Sehingga kamu lupa rasanya bercengkrama di pinggir jalan sembari duduk di bangku kayu usang sambil dihajar debu dan kumpulan riak yang mengering di udara. 

Kamu lupa betapa kamu mencintai kopi murah. Kamu ingat dulu pernah membandingkan brp ml satu kemasan dan mencoba membandingkan satu merek dengan merek lainnya tentang mana yang lebih banyak jika kamu mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan. 

Kamu terbiasa menikmati kopi asam yang tak pernah kamu suka. Sungguh tak pernah kamu suka. Lalu kamu anggap wajar dan berpikir:

"Kopi memang harus begini. Kenapa harus banyak berpikir lagi?"

Siapa yang mendikte rasa harus begini atau begitu. Ampas adalah cita rasa, ujarnya dalam hati. Tapi ia tak pernah benar-benar menolak ketika seseorang menceritakan tentang tata cara meminum kopi harus begitu dan begini. 


Kamu jatuh cinta dengan kopi super pahit yang pernah kamu teguk yang dibuat oleh nelayan yang mengajakmu memancing suatu dulu. Kamu ingat kamu melepehnya dan tak pernah sadar bahwa beberapa tahun kemudian kamu merindukannya. 

Aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang. 
Aku setuju. 

Tapi menjadi Aku yang sekarang bukan berarti melupakan segala sesuatu yang menjadikanmu (ka)mu yang dulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar