Rabu, 09 Desember 2015

Puisi dan kata ulang berkali-kali

Akan ada Tuhan di setiap-setiap perempatan dan lampu kota yang kamu lewati setiap malam-malam tadi, entah kamu ingin atau tidak
dan kamu pada akhirnya mau tak mau harus pulang juga, kan? 

Tidak penting bagaimana kita bertemu karena pada akhirnya toh kita bertemu juga. Jadi bagaimana kabarmu, masihkah kamu bertinju setiap kali jemarimu tertekuk dan tanganmu terkepal? 
Masih adakah asap motor di sela-sela alveoli mu? 
Masih adakah rindu tentang diriku samar-samar tersimpan dalam sinapsis neuronmu? 

Apakah puisi ini terlalu fiksi ataukah terlalu ilmiah?
Ataukah aku sudah semakin tak mahir lagi berpuisi?
Atau aku sudah tak mahir lagi menjadi aku? 

Lalu aku mencoba mengingat bagaimana biasanya aku mengakhiri puisi:
Pertanyaan? 
Kalimat ambigu? 
Titik? 

Lalu apakah puisi ini masih berupa puisi? 
Apakah cerita dariku masih pantas didengar? 

Apa aku bisa mendengar suaramu? 

Aku rasa puisi bertelinga makanya ia bisa mendengar isak tangismu subuh-subuh 1263 malam yang lalu. 
Tapi puisi tak pernah punya hati, sungguh tidak. Ia tak pernah melanjutkan tangisan itu kepada siapa-siapa. 

Ia biarkan tangisanmu menjelma menjadi aksara, titik dan koma. Lalu begitu saja, ia tak kemana-mana. 

Bisa jadi puisi malam ini serupa dengan puisi-puisi pada malam seperti itu, aku tak yakin. 
Bisa jadi puisi ini adalah puisi baru yang baru akan menemui teman-temannya 1000 tahun lagi, aku tak tahu. 

Atau bisa jadi puisi ini hanya menjadi puisi yang sekedar puisi. 

Aku tak tahu,
aku tak tahu. 

Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar