Minggu, 23 Oktober 2011

Selamat malam, tapi Tak pernah saya ucapkan dan judul sebuah puisi sebaiknya tidak menggunakan titik kata guru saya dulu

Oh nona, hippolyta sudah lama tak bercerita Ia tinggal di gedung-gedung tinggi dan kau panggil itu gunung Dengan emas-emas, mengambil alih dunia, menyerah pada masa depan, dan sari-sari jeruk Kita berandai bahwa kita serupa dewa, berkebun apel dan mengusir dari taman firdaus pencuri kecil yang mencuri apel Sayang kita tak pernah lulus dari bangku sekolah, vitamin C terlalu menyakiti lambung, asam terlalu perih untuk antiseptik Menumbuk alung, kemudian anda berikan pada orang lain Berjalan-jalan ke bulan mungkin. Bukankah anda membawa hewan peliharaan anda berjalan-jalan. Dan kini semua masuk akal. Seekor kelinci di bulan, membuat mochi, berjalan-jalan, oh tidak. Oh tidak. Ya tuhan, aku tidak sedang bercanda kan? Ditengah kepungan asap, lagu dan soneta. Kita bacakan puisi untuk tembok. Semen yang mengering hanya menggangguk-angguk. Kita hidup di bumi. Kita tak pernah kehilangan akar. Kita selamanya berlayar di atas laut Untuk apa menjadi pelaut jika anda tidak romantis? Untuk apa menjadi bakau jika anda tidak berkelana diatas laut? Untuk apa menjadi Untuk apa Untuk Esok nanti kita akan bertemu setelah lambaian tangan. Pesta tak pernah berhenti. Kuharap pada akhirnya Kita tak berharap, aku lupa. Kuharap pada akhirnya Kau tak berharap, aku ingat Kuharap pada akhirnya Nanti balon-balon akan terbang di angkasa membawa doa-doa. (Kita, aku, kamu, sendiri-sendiri, bersama-sama. Aku tak tahu, kamu tak tahu, kita tak tahu. Tak pernah tahu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar