Senin, 01 November 2010
Ibrahim versi Ekstrim
Ibrahim tak ingin bersama siapa-siapa saat ini. Awalnya ia ingin meneguk segelas kopi berdua saja bersama satu orang yang kelak akan dicintainya setengah mati. Belum setetes pun kopi itu menyentuh bibirnya ia lantas berpikir: "Siapa yang sebenarnya ia cintai?"
Ditinggalkannya secangkir kopi itu sendirian diatas meja. Ditemani lampu baca pun tidak. Ibrahim lantas berdiri meninggalkan rumahnya. Lucu, pikirnya. Pertanyaan sepenting itu kenapa baru muncul pada saat seperti ini?
Ia ambil jaketnya, sengaja ia tak reslitingkan karena ia merasa sedikit keren saat angin bertiup mengibarkan jaketnya sembari berjalan. Diluar sedang malam dan dilihatnya bintang-bintang berhamburan di langit diatasnya. Ia tersenyum kemudian berkata:
"Ah, bintang inilah yang akan kucintai!"
Ia lalu duduk menikmati bintang-bintang itu. Lama kemudian fajar datang lalu dalam sekejap pagi tiba dan bintang-bintang itu hilang berganti matahari. Ia menggeleng sendiri: bagaimana ia bisa mencintai sesuatu yang ada lantas tiada? Kemudian ia melihat matahari lantas tersenyum:
"Ah matahari inilah yang akan kucintai!"
Lalu kemudian matahari terbenam. Ibrahim diam, mana mungkin ia mencintai sesuatu yang kadang ada lantas tiada? Lalu bulan mulai muncul. Ibrahim tersenyum lagi kemudian berkata:
"Ah, bulan inilah yang akan kucintai!"
Ia diam saja menikmati bulan. Tak terasa kemudian fajar datang dan bulan pun hilang di kejauhan. Lalu matahari kembali muncul. Ibrahim diam, mana mungkin ia mencintai sesuatu yang kadang ada lantas tiada?
(Sekarang beri tahu aku, bukankah kita sebenarnya sama-sama penasaran?)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar