Akhirnya kamu keluar membawa kunci. Tergopoh kemudian berkata pelan sambil sibuk memilih kunci mana untuk gembok yang ini,
"Maaf lama menunggu. Aku tak ingat lagi dengan wajahmu." Aku diam kemudian membalas berkata,
"Tak apa. Aku pun sering tak ingat lagi dengan wajahku."
|
Sabtu, 24 Januari 2015
Membukakan pintu
Januari
Terakhir berpuisi di bulan Januari, aku tak sempat ingat dengan namamu. Aku masih ingat tentang harum bunga bakung yang kamu coba gambarkan dan betapa aku tak peduli (saat itu) saat tiba-tiba kamu melangkah perlahan ke sofa tempat aku duduk dan berkata, Aku hanya diam. Setengah panik kuteguk cepet air putih yang kamu suguhkan. Aku diam menatap wajahmu dan ketika kukira kamu mengerti arti pandanganku kamu hanya diam. "Pejamkan matamu, kita ke Venesia saat ini." ujarmu tiba-tiba. "Apa namamu benar-benar Aldo?" tanyamu sembari duduk. Tak ada gelas air putih lagi. Aku mencoba menanyakan tapi kamu menjawab sebelum aku sempat bertanya. "Air putih hanya membilas dustamu. Aku ingin jujurmu saat ini." Aku melihat sekeliling. Lukisan bunga bakung tidak balas menatapku, hanya matamu yang membalas pandangku di ruang tamumu ini. Aku akhirnya mengangguk. "Namaku Aldo Rahmansyah Sosodoro. Berkata jujur adalah urusanku sedang urusan percaya atau tidak, itu urusanmu." Kamu akhirnya tersenyum untuk kesekian kalinya hari ini. Aku balas bertanya, "Siapa namamu?" Kamu tidak menjawab. Kamu berdiri ke dapur membawa segelas air putih kembali. Aku sudah tidak haus lagi. "Namaku adalah . Tapi toh percuma saja aku sampaikan, kamu takkan pernah ingat. " Aku kemudian tertawa. Dalam hatiku aku berpikir mana mungkin aku bisa tak ingat? Tapi betul saja. Karena saat kutulis puisi ini aku tak bisa ingat betul namanya. Yang aku ingat hanya aroma lukisan bunga bakung yang tergantung di ruang tamunya. |
Minggu, 04 Januari 2015
Penyair yang
Penyair yang buruk akan berkata puisinya menceritakan seribu cerita dan membuat pembacanya mendadak mengerti tentang dunia lalu segala.
Sedang penyair yang baik hanya akan merampok kata-kata dan berkata bahwa puisinya tak pernah bermakna apa-apa.
|
Bukit melankoli
Sayang, kadang aku merasa bola lampu yang menggantung di atas kasur kita itu menyala sekejap sekali-kali. Apa kamu masih mendengar? |